Fed Kian 'Ramah Inflasi', Ini Berkahnya bagi Pasar RI

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
12 February 2021 21:36
US Treasury, Bond, Obligasi (Ilustrasi Obligasi)
Foto: US Treasury, Bond, Obligasi (Ilustrasi Obligasi)

The Fed sejak Agustus tahun lalu memang sudah mengumumkan mengubah pendekatan moneter dengan lebih menyasar pasar tenaga kerja, dan agak cuek dengan inflasi tinggi. Alasannya, untuk membantu menciptakan perekonomian yang kondusif bagi penciptaan lapangan kerja.

Meski angka pengangguran turun menjadi 6,3%, The Fed menilai kondisi ketenagakerjaan AS sekarang mash jauh dari yang diharapkan. Ketua The Fed Jerome Powell menilai angka pengangguran yang sebenarnya kemungkinan mendekati level 10% akibat pandemi.

Oleh karena itu, pihaknya akan terus fokus mencapai tujuan penciptaan lapangan kerja yang inklusif dan luas. Menurut dia, kebijakan moneter harus tetap "akomodatif dengan penuh kesabaran."

Pihaknya menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga acuan hingga tujuan tersebut dicapai. Tak tanggung-tanggung, dia bahkan menyatakan bakal menolerir inflasi di atas level standard The Fed yakni 2% jika memang diperlukan untuk menekan pengangguran.

Per Januari, inflasi tahunan AS berada di level 1,4% atau melambung jika dibandingkan dengan posisi Mei tahun lalu yang hanya 0,2%. Memang angka itu lebih baik dari Desember yang di level 1,6%, tetapi ada kabar buruk dari sisi daya beli.

Inflasi inti (yang mengecualikan harga makanan dan energi), yang mencerminkan daya beli masyarakat, ternyata di angka 0% atau lebih rendah dari ekspektasi (0,2%). Bisa dipahami kenapa stimulus disuntikan, yakni agar masyarakat kembali berdaya beli, bisa berbelanja.

Tak cukup dengan stimulus Desember senilai US$ 900 miliar, stimulus US$ 1.9 triliun segera menyusul, yang dibarengi program infrastruktur dan energi hijau Biden senilai US $ 3 triliun. Jangan lupa, The Fed bakal terus memborong surat berharga senilai US$ 120 miliar/per bulan.

Jika itu yang terjadi, maka uang beredar meningkat dan kita akan melihat inflasi AS meninggi, di atas 2%. Namun, suku bunga acuan kemungkinan tetap rendah seperti yang disinyalkan The Fed. Ini membuat imbal hasil surat berharga negara AS semakin kurang menarik.

qSumber: CNBC

Kami memperkirkan imbal hasil SBN AS tenor 10 tahun hanya akan meningkat menjadi 1,5% pada akhir tahun nanti, jika The Fed tak menaikkan suku bunga acuan. Pemodal akan meminta kompensasi lebih untuk mengatasi efek gerusan inflasi atas dana mereka dengan kenaikan yield.

Pemodal global pun akan menyerbu bursa saham AS jika selera mengambil risiko (risk appetatite) mereka baik-baik saja karena perekonomian juga pulih. Sebaliknya, jika ekonomi tak kunjung pulih sementara inflasi tinggi, mereka akan memburu emas dan SBN negara emerging market, khususnya yang berhasil menangani pandemi.

Jadi, jika Indonesia ingin menikmati limpahan dana asing tersebut, maka lagi-lagi kuncinya adalah: penanganan pandemi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular