Fed Kian 'Ramah Inflasi', Ini Berkahnya bagi Pasar RI

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
12 February 2021 21:36
Jerome Powell
Foto: CNBC Indonesia/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Data terbaru angka pengangguran Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja masih labil. Bank sentral pun kian toleran dengan inflasi tinggi pasca-pencairan stimulus, dan pasar Indonesia bisa mendapat berkahnya.

Data Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa ada 793.000 pengangguran baru pada pekan lalu, atau lebih buruk dari estimasi ekonom dalam polling Dow Jones yang mengantisipasi angka klaim sebesar 760.000.

Rilis tersebut membuktikan bahwa pasar berharap terlalu tinggi bahwa kondisi ekonomi AS sudah baik-baik saja, karena data terbaru itu mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja AS memburuk jika dibandingkan dengan pekan sebelumnya di mana klaim pengangguran baru hanya 779.000. Artinya, ada lebih banyak warga AS yang jatuh jadi pengangguran pekan lalu.

qSumber: CNBC

Era pandemi memang sangat memukul pasar tenaga kerja AS. Data penggajian di sektor swasta pada Januari hanya bertambah 49.000, sementara klaim lanjutan berkurang 145.000 menjadi 4,54 juta atau terendah sejak 21 Maret (tatkala pandemi mulai memukul keras perekonomian).

Dengan kata lain, ada 145.000 orang yang melepaskan status "menganggur" dan sudah dapat pekerjaan. Namun, total penganggur meningkat lebih parah, karena mencapai 20,44 juta, menyusul banyaknya penganggur baru yang masuk dan menggantikan mereka yang "mentas."

Mengacu pada peserta program penanganan pengangguran era pandemi, ada tambahan sekitar 2,7 juta orang penerima manfaat tunjangan pengangguran di putaran baru program tersebut. Tadinya, program manfaat pengangguran AS berakhir pada 26 Desember, tetapi diperbarui.

Di bawah program yang baru, manfaat yang diterima penganggur terhitung US$ 300 lebih tinggi dari peserta program biasa. Beberapa negara bagian mencatatkan kenaikan angka klaim, misalnya Ohio yang mencapai 90.000 klaim dan California sebanyak 23.588 klaim baru.

Pandemi sejak Maret 2020 telah menciptakan pengangguran baru sebanyak 10 juta orang, atau 4,4 juta orang lebih banyak jika dibandingkan dengan periode sebelum pandemi.

Meski ada 12,5 juta lapangan kerja baru, tetapi itu tak cukup menyerap pengangguran karena pencari kerja terus masuk ke bursa kerja AS, bersaing dengan mereka yang sedang tergusur akibat pandemi. Dus, Amerika perlu membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.

Namun di lapangan, laju penciptaan lapangan kerja masih lambat. Meski angka pengangguran anjlok dari titik tertingginya pada 2020 di level 14,8% (menjadi hanya 6,3% saat ini), tetapi slip gaji swasta (non-pertanian) naik cuma 49.000 di Januari-setelah anjlok 227.000 di Desember.

Itulah mengapa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kini menyingsingkan lengan baju membantu pemerintah mengatasi pengangguran, padahal dalam kondisi normal mereka lebih fokus menstabilkan inflasi.

The Fed sejak Agustus tahun lalu memang sudah mengumumkan mengubah pendekatan moneter dengan lebih menyasar pasar tenaga kerja, dan agak cuek dengan inflasi tinggi. Alasannya, untuk membantu menciptakan perekonomian yang kondusif bagi penciptaan lapangan kerja.

Meski angka pengangguran turun menjadi 6,3%, The Fed menilai kondisi ketenagakerjaan AS sekarang mash jauh dari yang diharapkan. Ketua The Fed Jerome Powell menilai angka pengangguran yang sebenarnya kemungkinan mendekati level 10% akibat pandemi.

Oleh karena itu, pihaknya akan terus fokus mencapai tujuan penciptaan lapangan kerja yang inklusif dan luas. Menurut dia, kebijakan moneter harus tetap "akomodatif dengan penuh kesabaran."

Pihaknya menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga acuan hingga tujuan tersebut dicapai. Tak tanggung-tanggung, dia bahkan menyatakan bakal menolerir inflasi di atas level standard The Fed yakni 2% jika memang diperlukan untuk menekan pengangguran.

Per Januari, inflasi tahunan AS berada di level 1,4% atau melambung jika dibandingkan dengan posisi Mei tahun lalu yang hanya 0,2%. Memang angka itu lebih baik dari Desember yang di level 1,6%, tetapi ada kabar buruk dari sisi daya beli.

Inflasi inti (yang mengecualikan harga makanan dan energi), yang mencerminkan daya beli masyarakat, ternyata di angka 0% atau lebih rendah dari ekspektasi (0,2%). Bisa dipahami kenapa stimulus disuntikan, yakni agar masyarakat kembali berdaya beli, bisa berbelanja.

Tak cukup dengan stimulus Desember senilai US$ 900 miliar, stimulus US$ 1.9 triliun segera menyusul, yang dibarengi program infrastruktur dan energi hijau Biden senilai US $ 3 triliun. Jangan lupa, The Fed bakal terus memborong surat berharga senilai US$ 120 miliar/per bulan.

Jika itu yang terjadi, maka uang beredar meningkat dan kita akan melihat inflasi AS meninggi, di atas 2%. Namun, suku bunga acuan kemungkinan tetap rendah seperti yang disinyalkan The Fed. Ini membuat imbal hasil surat berharga negara AS semakin kurang menarik.

qSumber: CNBC

Kami memperkirkan imbal hasil SBN AS tenor 10 tahun hanya akan meningkat menjadi 1,5% pada akhir tahun nanti, jika The Fed tak menaikkan suku bunga acuan. Pemodal akan meminta kompensasi lebih untuk mengatasi efek gerusan inflasi atas dana mereka dengan kenaikan yield.

Pemodal global pun akan menyerbu bursa saham AS jika selera mengambil risiko (risk appetatite) mereka baik-baik saja karena perekonomian juga pulih. Sebaliknya, jika ekonomi tak kunjung pulih sementara inflasi tinggi, mereka akan memburu emas dan SBN negara emerging market, khususnya yang berhasil menangani pandemi.

Jadi, jika Indonesia ingin menikmati limpahan dana asing tersebut, maka lagi-lagi kuncinya adalah: penanganan pandemi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular