
Cerita Lengkap Garuda & Bombardier, Hingga Tanggapan NAC

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) telah sepakat untuk melakukan penyelesaian lebih awal (early termination) atas kontrak sewa pesawat Bombardier CRJ-1000. Terdapat beberapa pertimbangan yang membuat keputusan ini diambil oleh pihak perusahaan.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan operasional pesawat tersebut mengakibatkan kerugian bagi perusahaan sebesar US$ 30 juta per tahun. Belum termasuk biaya sewa pesawat yang senilai US$ 27 juta per tahunnya.
"Jadi memang tidak dapat dipungkiri selama 7 tahun dioperasikan ini setiap tahun secara rata-rata mengalami kerugian penggunaan pesawat CRJ lebih dari US$ 30 juta dolar per tahun. Sedang sewanya US$ 27 juta. Jadi setiap tahun Garuda keluarkan sewa US$ 27 juta untuk 12 dan rugi lebih dari US$ 30 juta," kata Irfan pekan ini.
Dengan dilakukannya penghentian operasional ini, maka perusahaan akan dapat menghemat biaya sebesar US$ 220 juta.
Selain karena biaya operasionalnya yang mahal, Irfan menyebut penggunaan Bombardier CRJ 1000 tak cocok untuk penumpang di Indonesia, sebab pesawat ini memiliki kapasitas bagasi yang sempit sehingga dinilai lebih cocok untuk perjalanan pulang-pergi (commuting).
"Yang jelas saat ini pesawat ini tidak cocok, cocoknya penggunaan commuting berangkat dan pulang di hari yang sama, rute tertentu. Penumpang biasanya kalau commuting tidak banyak barang. Sedangkan di Indonesia itu travel commuting itu ga sering terjadi paling Jakarta-Bandung, Jakarta-Surabaya juga tidak banyak," kata Irfan dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Kamis (11/2/2021).
Kondisi terburuk dengan industri penerbangan yang terhantam oleh pandemi yang membuat perusahaan harus melakukan efisiensi bisnis, sebab jumlah penumpang yang turun drastis dan banyak pesawat tidak bisa terbang.
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan alasan lainnya adalah danya indikasi pidana suap yang dilakukan oleh produsen pesawat tersebut kepada manajemen Garuda saat pengadaannya dilakukan pada 2011.
Saat ini proses investigasi tengah dilakukan oleh Serious Fraud Office (SFO), Inggris. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menyelesaikan investigasi kasus ini tahun lalu.
"Tentu keputusan ini ada landasannya, kita tahu bagaimana kami mempertimbangkan tata kelola perusahaan yang baik transparan akuntabilitas dan profesional dimana juga melihat dari keputusan dari komisi pemberantasan korupsi Indonesia dan juga penyelidikan serius fraud dari Inggris terhadap indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda saat proses pengadaan pesawat tahun 2011," kata Erick.
Pertimbangan lainnya adalah karena saat ini dinilai kondisi force majeur, dengan pandemi Covid-19 yang memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi besar-besaran untuk tetap bertahan di industri.
Sebab, menurut Erick, biaya leasing pesawat yang ditanggung Garuda menjadi salah satu yang paling tinggi biayanya di dunia, yakni mencapai 27%.
"Karena itu saya dengan tegas dan manajemen sangat mendukung kita memutuskan untuk mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1000 untuk mengakhiri kontrak kepada Nordic Aviation atau NAC yang memang jatuh temponya tahun 2027," kata dia.
Adapun 12 unit pesawat ini dipastikan akan dikembalikan kepada perusahaan Nordic Aviation Capital (NAC). Irfan menyebutkan perusahaan telah berupaya untuk bernegosiasi kepada perusahaan tersebut untuk pengembalian pesawat, namun tidak mendapatkan respon yang baik.
Kontrak tersebut seharusnya berakhir pada 2027. Dalam kontrak awal disebutkan bahwa jika ingin mengakhiri lebih awal, Garuda harus membayarkan biaya hingga masa kontrak tersebut berakhir.
"Dalam kontrak apabila Garuda melakukan penghentian kontrak, Garuda harus bayar sisa masa kontrak tersebut sesuaI dengan masa bulanan. itu agian nego yang kita lakukan. Mau minta nego dengan harga yang jauh lebih rendah dari itu, tidak ketemu dan permintaan mereka tidak masuk akal, bukannya turun dari nego tapi malah naik setiap nego," kata dia.
Sementara itu, enam armada pesawat lainnya merupakan bagian kontrak dengan Export Development Canada (EDC). Proses nego dengan perusahaan ini disebutkan masih berjalan dan Garuda saat ini masih menunggu respon dari perusahaan tersebut.