
Saham Sudah Mahal tapi Nanjak Terus, PER-PBV Gak Ngefek Lagi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu cara yang paling instan dalam melakukan valuasi terhadap murah atau tidaknya suatu saham biasanya adalah dengan menggunakan dua jurus yang sering dipakai para analis fundamental, price to book value (PBV) dan price to earnings ratio (PER).
PBV adalah metode valuasi yang membandingkan nilai buku suatu emiten dengan harga pasarnya. Semakin rendah PBV biasanya perusahaan akan dinilai semakin murah. Secara Rule of Thumb, PBV akan dianggap murah apabila rasionya berada di bawah angka 1 kali.
Sedangkan PER juga merupakan metode valuasi yang membandingkan laba bersih per saham dengan harga pasarnya.
Semakin rendah PER maka biasanya perusahaan juga akan dianggap semakin murah, Untuk PER biasanya secara rule of thumb akan dianggap murah apabila rasio ini berada di bawah angka 10 kali.
Akan tetapi belakangan ini banyak saham-saham yang melesat kencang, di mana pasar tampaknya tidak perduli terhadap rasio PER dan PBV-nya mulai dari saham-saham bank digital, saham-saham emiten nikel, dan beberapa saham lain.
Tentu saja hal ini akan menyebabkan para investor sebagian bertanya, apakah metode valuasi PER dan PBV tak lagi relevan?
Tentu saja apabila para investor hanya melihat valuasi dari PER dan PBV hal ini bisa misleading karena masih banyak rasio-rasio perusahaan lain yang perlu diperhatikan seperti efisiensi perusahaan dalam mencetak laba, profitabilitas perusahaan, hingga seberapa royal perusahaan tersebut membagikan laba bersihnya sebagai dividen.
Sebagai contoh PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) memiliki rasio PBV 55,25 kali yang tentu saja tergolong sangat mahal sekali.
Selanjutnya coba bayangkan UNVR saat ini diperdagangkan di harga 3 kali PBV-nya. PBV 3 kali biasanya secara rule of thumb di anggap merupakan valuasi yang tidak lagi murah.
Apabila diperdagangkan di valuasi 3 kali PBV-nya maka harga UNVR akan berada di kisaran Rp 387/unit. Tahun lalu UNVR membagikan dividen sebanyak Rp 107/unit maka imbal hasil dividen apabila PBV UNVR dikerdilkan menjadi 3 kali adalah 27,64% yang tentu saja sangat atraktif karena jauh berada di atas suku bunga deposito.
Hal ini menunjukkan memang apabila melihat PBV nya saja UNVR akan tergolong mahal, akan tetapi investor juga perlu memperhatikan rasio-rasio lain seperti berapa rasio profitabilitas perusahaan serta seberapa efisien perusahaan dengan menggunakan rasio tingkat pengembalian modal atau return on equity (ROE). ROE UNVR super efisien di angka 145%.
Ini artinya setiap 1 rupiah modal perusahaan bisa menghasilkan laba bersih hampir 1,5 rupiah jauh di atas perusahaan-perusahaan lain yang biasanya hanya mampu menghasilkan 0,1 rupiah dengan modal yang sama. Maka dari itu mahalnya valuasi UNVR dari segi PBV dapat dijustifikasi.
Selanjutnya perhitungan valuasi PER dan PBV juga tidak memperhitungkan pertumbuhan perseroan di masa mendatang apalagi apabila secara historis perusahaan mampu tumbuh cepat di atas prediksi investor atau ada faktor-faktor lain yang berpengaruh.
Hal ini bisa dilihat dari saham-saham 'mahal' lain yang tergolong dalam kategori ini seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) serta saham-saham nikel lain.
Valuasi saham-saham ini secara PER dan PBV sudah tergolong mahal akan tetapi diprediksi ke depannya akan diuntungkan dengan commodity supercycle dan sedang maraknya peralihan ke mobil listrik yang tentunya baterainya menggunakan bahan baku nikel.
Selain itu saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) juga secara valuasi PER dan PBV sudah tergolong mahal akan tetapi prospek usaha BSI secara fundamental ke depan sangat cerah dengan potensi pertumbuhan tinggi.
PBV BRIS tercatat 5,27 kali, bandingkan dengan PT Bank BTPN Syariah Tbk (BTPS) 4,64 kali, PT Bank Net Syariah Indonesia Tbk (BANK) 10,06 kali, dan PT Bank Panin Dubai Syariah Tbk (PNBS) 1,16 kali.
Hal ini karena nantinya BSI akan menguasai pasar perbankan syariah dari sisi total aset, pemberian kredit, dan dana pihak ketiga. Serta potensi perbankan syariah yang masih besar di Indonesia karena merupakan untapped market.
Belum lagi ada PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang punya PBV juga tinggi yakni 64,28 kali, kendati jika melihat dari bisnis bank digital ke depan akan sangat prospektif.
Tentu saja hal ini bukan mengatakan bahwa valuasi PER dan PBV tak lagi relevan, akan tetapi ada beberapa saham yang cocok digunakan metode ini dan beberapa saham lain yang tidak cocok karena ada justifikasi rasio-rasio atau keunggulan lain yang menonjol.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
