
Ramai-ramai Hedge Fund "Pasang Taruhan" di Minyak, Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah pengelola dana atau hedge fund terutama di komoditas minyak memproyeksikan bahwa ada tren kenaikan alias bullish harga minyak mentah dunia yang akan kembali terjadi dalam waktu dekat ini.
Proyeksi kenaikan itu mengesampingkan pandemi Covid-19, karena para hedge fund menilai ada kecenderungan para produsen minyak punya kemampuan untuk meningkatkan produksi.
Mereka beranggapan bahwa pembatasan pasokan saat ini akan mendorong harga minyak ke level tertinggi secara multi-year dan bisa bertahan selama 2 tahun atau lebih.
Menurut data dari eVesment, sikap optimistis terhadap minyak tersebut berbalik arah dari sikap hedge fund yang justru melakukan posisi short (jual) di sektor minyak menjelang penutupan pasar global, sehingga mereka mendapatkan keuntungan di sektor energi sebesar 26,8% pada tahun 2020.
Oleh karenanya, saat ini para hedge fund dengan cepat melihat adanya tren baru.
Sebelumnya, harga minyak acuan Brent telah melesat hingga 59% sejak awal November lalu, ketika berita tentang vaksin sedang ramai-ramainya dan setelah pembatasan wilayah (lockdown) akibat pandemi Covid-19 tahun lalu yang menyebabkan permintaan bahan bakar tertekan, sehingga harga minyak turun drastis.
Pekan lalu, harga Brent mencapai level sebelum pandemi yakni mendekati US$ 60 per barel atau naik 54% menjadi di kisaran US$ 57 per barel.
"Pada musim panas, vaksin harus disediakan secara luas dan tepat waktu, saya pikir semuanya akan menjadi gangbuster," kata David D. Tawil, salah satu pendiri Maglan Capital, hedge fund yang berbasis di New York sekaligus CEO dari Centaurus Energy, dikutip Reuters, Senin (8/2/2021).
Tawil memperkirakan minyak Brent akan menyentuh kisaran US$ 70 hingga US$ 80 per barel pada akhir 2021 dan perusahaan akan menginvestasikan dana (posisi long atau jual) untuk komoditas minyak dan gas (migas).
Taruhan pada sektor energi termasuk migas ini datang meskipun Badan Energi Internasional memperingatkan pada bulan Januari lonjakan kasus virus corona strain baru akan kembali menghambat permintaan minyak tahun ini.
Pemulihan ekonomi yang lebih lambat juga akan menunda rebound penuh dalam permintaan energi dunia hingga 2025.
Biasanya, produsen minyak akan meningkatkan produksinya karena kenaikan harga, tetapi langkah investor yang mulai fokus pada energi terbarukan dari energi fosil dan kehati-hatian para pemberi pinjaman membuat mereka kesulitan untuk merespons hal tersebut.
Sementara itu, laju pemulihan produksi di Amerika Serikat (AS) sebagai produsen minyak No. 1 dunia, diperkirakan melambat dan tidak akan melebihi rekor produksi di tahun 2019 yang menembus 12,25 juta barel per hari (bph) hingga 2023. Hal ini dikarenakan produksi pada 2020 turun 6,4% menjadi 11,47 juta bpd.
Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) juga terpaksa merevisi dengan menurunkan pertumbuhan permintaan dan masih mengharapkan pemotongan produksi untuk menjaga pasar tetap defisit sepanjang tahun 2021.
"Kami akan melihat [kenaikan] harga minyak yang luar biasa dalam beberapa tahun mendatang, sangat panas," kata Tawil.
NEXT: Pasar bullish