Berkah Jualan Surat Utang, Cadev RI Cetak Rekor Tertinggi!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 February 2021 12:41
Dollar
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa (cadev) Indonesia meroket pada awal tahun 2021 hingga mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah. Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa Januari 2021 sebesar US$ 138 miliar naik US$ 2,1 miliar dari posisi Desember 2020.

"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2021 sebesar 138,0 miliar dolar AS, meningkat dari posisi pada akhir Desember 2020 sebesar 135,9 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 10,5 bulan impor atau 10,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," tulis BI dalam keterangan pers, Jumat (5/2/2021).

"Peningkatan posisi cadangan devisa pada Januari 2021 terutama dipengaruhi oleh penerbitan global bonds pemerintah dan penerimaan pajak. Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi," tambah keterangan tersebut.

Rekor tertinggi cadangan devisa Indonesia sebelumnya US$ 137 miliar yang dicapai pada bulan Agustus 2020 lalu. Setelahnya Cadev mengalami penurunan dalam 3 bulan beruntun, sebelum kembali naik di bulan Desember 2020, dan meroket di awal tahun ini.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> RI Terbitkan Global Bond Dengan Yield Terendah Sepanjang Sejarah



Seperti disebutkan dalam keterangan BI, penerbitan global bond serta penerimaan pajak menjadi penopang kenaikan cadangan devisa di bulan Januari. Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam 2 mata uang asing dolar AS dan euro di awal tahun ini. Dalam bentuk dolar AS, pemerintah menerbitkan 3 seri SUN, tenor 10 tahun, 30 tahun, dan 50 tahun, dengan nilai total US$ 3 miliar. Sementara dalam bentuk euro diterbitkan 1 seri dengan tenor 12 tahun, senilai US$ 1 miliar.

Sehingga global bond yang diterbitkan di bulan Januari lalu sebesar US$ 4 miliar.

Menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penerbitan global bond kali ini yang "termurah" atau dengan yield terendah sepanjang sejarah untuk seluruh tenor.

"Untuk seri-seri dengan denominasi USD, initial price guidance berada pada area 2.350% untuk tenor 10 tahun, area 3.550% untuk tenor 30 tahun dan area 3.850% untuk tenor 50 tahun. Dengan profil kredit Indonesia yang sangat baik di mata investor, transaksi ini berhasil mendapatkan orderbook yang dalam dan berkualitas sehingga final price guidance dapat ditekan hingga 45bps ke 1,900% untuk tenor 10 tahun, 3,100% untuk tenor 30 tahun dan 3,400% untuk tenor 50 tahun" tulis DJPPR dalam rilisnya 12 Januari lalu.

SUN tenor 10 tahun dan 50 tahun juga dilaporkan mencapai spread terendah terhadap obligasi (Treasury) AS sepanjang sejarah penerbitan masing-masing sebesar 95,3bps dan 169,9bps.

Dalam keterangan tersebut juga disebutkan Pemerintah berhasil menekan harga SUN denominasi Euro sebesar 40bps dari initial price guidance di area MS+175bps ke final price guidance di MS+135bps. Transaksi kali ini juga mencatatkan tenor terpanjang untuk SUN denominasi Euro yang pernah diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia.

Sementara itu dari sisi penerimaan pajak, Kementerian Keuangan mencatat, hingga 31 Desember 2020 penerimaan pajak hanya mampu terkumpul Rp 1.069,98 triliun atau 89,25% dari target yang ditetapkan Rp 1.198,8 triliun dalam Peraturan Presiden (Perpres) 72/2020.

Dengan demikian, maka ada kekurangan penerimaan (shortfall) pajak sebesar Rp 128,8 triliun di tahun lalu. Meski shortfall terjadi dalam 12 tahun terakhir, tetapi pandemi virus corona (Covid-19) menjadi salah satu pemicu rendahnya penerimaan pajak tahun lalu.

Meski demikian, di semester II 2020 lalu menunjukkan tren pemulihan setelah merosot tajam, sebagaimana ditunjukkan dalam APBN KiTa edisi Januari 2021 lalu.

idrFoto: APBN KiTa Edisi Januari 2021

Tren pemulihan tersebut bisa jadi berlanjut di awal tahun ini, yang menjadi penopang kenaikan cadangan devisa.

Apalagi, dua komoditas ekspor andalan Indonesia, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara) masih berada di level tinggi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga CPO dan Batu Bara Masih Tinggi

Harga CPO meroket dan mencapai level tertinggi dalam 9 tahun terakhir di awal Januari lalu, sebelum mengalami koreksi. Meski demikian secara rata-rata, hargfa CPO di bulan Januari masih lebih tinggi ketimbang Desember 2021. Rata-rata harga CPO di bulan Januari 2021 sebesar 3.515,75 ringgit per ton (US$ 863/ton) naik 2,24% dibandingkan harga rata-rata Desember 2021.

Pemerintah di awal Desember juga mengubah besaran tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/ CPO) menjadi disesuaikan berdasarkan batasan lapisan nilai harga CPO yang mengacu pada harga referensi yang ditetapkan Menteri Perdagangan.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan. Peraturan tersebut berlaku sejak 10 Desember 2020.

Dalam peraturan baru tersebut, tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit (CPO) minimal sebesar US$ 55 per ton dan paling tinggi US$ 255 per ton. Tarif pungutan US$ 55 per ton dengan asumsi harga CPO berada di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton.

Untuk harga CPO di atas US$ 670 per ton sampai dengan US$ 695 per ton, maka tarif pungutan ekspor naik sebesar US$ 5 per ton menjadi US$ 60 per ton. Namun, bila harga CPO di atas US$ 695 per ton sampai dengan US$ 720 per ton, maka tarif pungutan naik lagi sebesar US$ 15 per ton menjadi US$ 75 per ton.

Begitu pun bila harga CPO di atas US$ 720 per ton sampai US$ 745 per ton, pungutan akan naik menjadi US$ 90 per ton. Dan seterusnya, setiap harga CPO naik US$ 25 per ton, maka pungutan ekspor akan naik sebesar US$ 15 per ton. Bila harga CPO di atas US$ 995 per ton, maka tarif pungutan ekspor mencapai US$ 255 per ton.

Harga batu bara juga mengalami hal yang sama. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menetapkan HBA Januari 2021 berada di level US$ 75,84 per ton. HBA itu naik tajam 27,14% dibandingkan dengan HBA Desember 2020 yang masih berada di posisi US$ 59,65 per ton.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular