Januari Turun 2% Lebih, Emas Bisa Tembus US$ 2.000 Bulan Ini?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 February 2021 19:03
Emas Batangan ditampilkan di Hatton Garden Metals, London pada 21 July 2015 (REUTERS/Neil Hall/File Photo)
Foto: Emas Batangan ditampilkan di Hatton Garden Metals, London pada 21 July 2015 (REUTERS/Neil Hall/File Photo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia melesat di perdagangan pertama bulan Februari, Senin (1/2/2021), setelah melemah sepanjang bulan Januari. Di pekan pertama 2021, emas sebenarnya menunjukkan kinerja yang menjanjikan, setelah mendekati lagi level US$ 2.000/troy ons. Tetapi setelahnya malah anjlok, dan belakangan ini kesulitan naik kembali.

Pada pukul 17:11 WIB, emas diperdagangkan di kisaran US$ 1.861,26/troy ons, melesat 0,82% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sepanjang bulan Januari, logam mulia ini tercatat melemah 2,66% di US$ 1,846.09/troy ons, dengan level tertinggi yang berhasil dicapai US$ 1.959,01/troy ons pada 6 Januari lalu.

Setelah mencapai level tertinggi tersebut, emas seakan kehilangan tenaga, sempat melesat lagi saat Joseph 'Joe' Biden dilantik menjadi Presiden AS ke-46 pada 20 Januari lalu. Setelahnya, emas kembali kehilangan tenaga dan baru sejak Jumat lalu mampu perlahan bangkit.

Pelaku pasar kini menanti kapan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun yang dijanjikan Presiden Biden akan cair. Maklum saja, stimulus fiskal merupakan salah satu bahan bakar utama emas untuk menguat, selain juga stimulus moneter.

Namun, kini nilai stimulus US$ 1,9 miliar tersebut mulai diragukan oleh pasar, yang membuat harga emas kehabisan tenaga. Sebab, perekonomian AS di tahun ini diprediksi akan menunjukkan pemulihan setelah vaksinasi massal dimulai.

Banyak pihak yang menganggap nilai tersebut terlalu besar, dikhawatirkan akan memicu kenaikan inflasi, yang tentunya akan berdampak buruk bagi perekonomian. Daya beli masyarakat justru akan menurun.

Bulan Februari bisa menjadi titik terang berapa nilai stimulus yang akan digelontorkan oleh pemerintah AS di bawah komando Biden. Apalagi, House of Representative (DPR) dan Senat sudah dikuasai oleh Partai Demokrat, sehingga akan memudahkan Biden meloloskan rencana stimulus yang diajukan.

Namun, Presiden Biden mengatakan siap berkompromi agar mendapat dukungan dari Partai Republik yang saat ini menjadi oposisi. Analis dari Heights Securities, Hunter Hammond memperkirakan nilai stimulus tersebut akan dipangkas menjadi US$ 1 triliun hingga US$ 1,5 triliun.

Namun, Partai Demokrat mengindikasikan akan mencairkan stimulus tersebut meski tanpa dukungan Partai Republik, dan akan segera dicairkan.

"Kita selalu ingin stimulus disepakati kedua belah pihak, tetapi kita tidak bisa menyerah jika Partai Republik tidak menyetujuinya," kata ketua DPR dari Partai Demokrat, Nancy Pelosi dalam konferensi pers di Capitol Hill, sebagaimana dilansir New York Times, Jumat (29/1/2021).

Stimulus tersebut diharapkan akan cair sebelum 14 Maret, saat stimulus yang sedang berjalan saat ini habis. Sehingga, pemulihan ekonomi AS bisa terus berlanjut.

Pengajuan resmi proposal stimulus fiskal tersebut tentunya akan menjadi penggerak emas di bulan ini, dan tidak menutup kemungkinan akan kembali ke atas US$ 2.000/troy ons, seandainya nilai yang akan digelontorkan tetap sebesar US$ 1,9 triliun.

Apalagi, dari sisi stimulus moneter, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengindikasikan belum akan mengetatkan kebijakan moneter di tahun ini.


Halaman Selanjutnya >>> The Fed Bantah Tapering di Akhir Tahun

The Fed di bawah komando Jerome Powell pada Kamis pekan lalu mempertahankan suku bunga di rekor terendah <0,25% dan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan.

Kebijakan tersebut masih dipertahankan sebab The Fed melihat pemulihan ekonomi yang nyungsep akibat pandemi penyakitr virus corona (Covid-19) di Negeri Paman Sam mengalami pelambatan.

"Perekonomian masih jauh dari target inflasi dalam kebijakan moneter kami, dan kemungkinan membutuhkan waktu beberapa lama untuk mencapai kemajuan yang substansial. Kebijakan masih akan "sangat akomodatif saat pemulihan sedang berlangsung," kata ketua The Fed, Jerome Powell, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (28/1/2021).

Selain itu, dalam konferensi pers usai mengumumkan kebijakan moneter. Powell mengatakan laju pemulihan ekonomi dan pasar tenaga kerja dalam berberapa bulan terakhir berjalan secara moderat, dengan pelemahan terjadi di sektor yang paling terdampak pandemi.

Sementara itu, "bisik-bisik" pengurangan nilai QE atau yang dikenal dengan tapering di akhir tahun ini, yang selama ini beredar di pasar, dibantah oleh Powell.

"Mengenai tapering, itu masih prematur. Kamu baru saja membuat panduan. Kami mengatakan kami ingin melihat kemajuan yang substansial menuju target kami sebelum kami memodifikasi panduan QE. Dan itu masih terlalu prematur untuk membahas kapan waktunya, kami harus fokus dalam kemajuan yang ingin kami lihat," kata Powell.

Pernyataan Powell tersebut membuat "bisik-bisik" tapering di akhir tahun ini meredup.

Sebelumnya "bisik-bisik" tapering membuat emas sulit untuk menguat, kini setelah Powell mengatakan hal tersebut terlalu prematur, emas seharusnya bisa kembali menguat.
Sementara itu, suku bunga rendah <0,25% juga masih belum akan dinaikkan hingga tahun 2023, hal tersebut terindikasi dari data dari Fed Dot Plot yang diirlis. Sehingga ruang penguatan emas sebenarnya masih cukup besar.

Kitco melakukan survei di akhir tahun lalu, terhadap pelaku pasar maupun para analis. Hasilnya survei yang melibatkan 2.000 pelaku pasar, sebanyak 84% memprediksi harga emas akan kembali ke atas US$ 2.000/troy ons di akhir tahun ini. Yang paling banyak memprediksi emas berada di kisaran US$ 2.300/troy ons.

Hasil survei terhadap pelaku pasar tersebut sejalan dengan proyeksi analis yang disurvei Kitco. Analis dari Goldman Sachs, Commerzbank, dan CIBC memprediksi harga emas akan mencapai US$ 2.300/troy ons di tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular