
Harga Minyak Melonjak 7% Lebih Bulan Ini, Tapi...

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia melonjak bulan ini. Namun pada pekan terakhir, ada tanda harga si emas hitam mulai goyang.
Mengawali 2021, harga minyak cukup impresif dengan penguatan tajam. Sejak akhir 2020, harga minyak jenis brent melonjak 7,9% sementara light sweet melesat 7,48%.
Prospek pemulihan ekonomi dunia membuat ekspektasi peningkatan permintaan energi terpupuk. Dalam laporan terbarunya, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2020 tumbuh -3,5%. Lebih baik ketimbang proyeksi sebelumnya yaitu -4,4%.
Untuk 2021, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tumbuh 5,5%. Lebih tinggi perkiraan sebelumnya yang sebesar 5,2%.
Ekonomi yang membaik tentu ditandai dengan meningkatnya permintaan energi. Hasilnya, harga minyak bergerak ke utara.
Dalam survei yang digelar Reuters pada Desember 2020, 39 ekonom dan analis yang menjadi responden memperkirakan rata-rata harga minyak jenis brent tahun ini sebesar US$ 50,67/barel. Naik dibandingkan angka perkiraan bulan sebelumnya yaitu US$ 49,35/barel.
Sedangkan rata-rata harga minyak jenis light sweet sepanjang 2021 diperkirakan US$ 47,45/barel. Lebih tinggi ketimbang survei sebulan sebelumya yang memperkirakan di US$ 46,4/barel.
Akan tetapi, harga minyak bukannya tidak menghadapi risiko koreksi. Terbukti sepanjang pekan ini harga minyak light sweet turun 0,34% secara point-to-point.
Risiko bagi harga minyak (dan kehidupan umat manusia di planet bumi) adalah pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Pekan ini, jumlah orang yang terinfeksi virus corona resmi menembus 100 juta.
Vaksin anti-virus corona, yang menjadi 'senjata' utama dalam melawan virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu, ternyata belum bisa menjadi tumpuan harapan. Proses vaksinasi berjalan lambat sehingga membuat investor (dan seluruh dunia) cemas.
Masalah ketersediaan vaksin menjadi kendala. Kebutuhan yang sangat tinggi ternyata belum dibarengi oleh kecepatan produksi.
Moderna, salah satu produsen vaksin anti-virus corona, mengaku kewalahan memenuhi permintaan yang membludak. Italia menjadi salah satu korbannya, Negeri Spageti sepertinya tidak akan mendapatkan pasokan vaksin moderna sesuai dengan kesepakatan.
"Moderna memberi tahu kami soal pengurangan. Mulai pekan pertama Februari, hanya 132.000 dosis yang akan tiba, 20% lebih sedikit dari yang sudah disepakati," ungkap Domenico Arcuri, Komisioner Implementasi Penanganan Kesehatan Pandemi Covid-19 Italia, sebagaimana diwartakan Reuters.
Tidak hanya Italia, Prancis pun mengalami hal serupa. Mulai bulan depan, vaksin Moderna yang diterima Negeri Anggur akan 25% lebih sedikit dari kesepakatan.
Kondisinya memang serba sulit. Dalam kondisi normal, vaksin membutuhkan 3-4 tahun persiapan agar bisa terdistribusi dengan baik. Kondisi darurat pandemi global membuat proses pengembangan plus distribusi membuat vaksin anti-virus corona hanya punya waktu kurang dari setahun. Wajar kalau akan banyak tantangan di lapangan.
Sepanjang mayoritas penduduk bumi belum menerima vaksin yang membangun imunitas terhadap virus corona, maka kekebalan kolektif (herd immunity) belum bisa terwujud. Rantai penularan akan semakin panjang, pandemi terus berlanjut, aktivitas dan mobilitas masyarakat belum bisa normal seperti dulu.
Apabila pembatasan sosial (social distancing) masih berlaku, apalagi jika semakin ketat, maka harapan pemulihan ekonomi hanya akan menjadi pepesan kosong. Mustahil menormalkan ekonomi selagi pandemi masih menghantui.
Oleh karena itu, mulai ada keraguan apakah ekonomi betul-betul bisa pulih kalau pandemi bukannya melandai tetapi malah semakin ganas? Apakah ada jaminan permintaan energi akan naik kalau orang-orang masih diminta untuk #dirumahaja?
Keraguan ini membuat investor mulai menarik diri dari komoditas minyak. Sebab, ternyata harapan yang digembar-gemborkan masih penuh dengan tanda tanya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Pasokan Libya Bikin Panas Harga Minyak