IHSG Sudah Ambrol 7%, Jangan Panik! The Fed Siap Membantu

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 January 2021 16:18
Ilustrasi IHSG
Foto: Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Di tengah pandemi Covid-19 bursa saham AS (Wall Street) berkali-kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Namun, sebelumnya di bulan Maret tahun lalu, kiblat bursa saham dunia ini sempat mengalami aksi jual masif.

Indeks S&P 500 pada 5 Februari 2020 menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa 3.393,52. Tetapi setelahnya ambrol hingga menyentuh 2.191,73 pada 9 Maret 2020, atau ambrol lebih dari 35% dan menyentuh level terendah sejak November 2016. Hal yang sama juga terjadi pada 2 indeks utama lainnya, Dow Jones dan Nasdaq.

Sejak saat itu, Wall Street perlahan bangkit berkat stimulus moneter The Fed, sementara pemerintah AS saat itu di bawah komando Presiden ke-45 Donald Trump menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun.

Alhasil, Wall Street terus menanjak dan rekor tertinggi sepanjang sejarah berkali-kali dicetak.

Terbaru, S&P 500 pada Selasa (26/1/2021) mencatat rekor di 3.870,9, sebelum berbalik melemah. Nasdaq mencetak rekor sehari sebelumnya di 13.728,984, sementara Dow Jones pada Kamis (21/1/2021) di 31.272,22.

Sepanjang tahun lalu, S&P 500 melesat 16,26%, Nasdaq "terbang" 43,64%, dan Dow Jones naik 7,25%.

Melesatnya Wall Street tersebut menjadi salah satu pemicu kebangkitan IHSG, yang juga sempat dihantam aksi jual masif pada Maret 2020 lalu.

Kini, orang nomer 1 di AS sudah berganti, Joseph 'Joe' Biden dilantik menjadi Presiden AS ke-46 pada 20 Januari lalu. Biden berjanji akan kembali menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun.

Artinya, Amerika Serikat akan kembali banjir likuiditas seperti tahun lalu, dan Wall Street berpeluang kembali menanjak. Sekali lagi, Indonesia sebagai negara emerging market dengan imbal hasil yang tinggi berpotensi kecipratan capital inflow, yang bisa menopang pasar keuangan.

Selain itu, stimulus fiskal US$ 1,9 triliun ketika cair akan menekan nilai tukar dolar AS, sebab jumlah uang yang beredar menjadi bertambah. Hal tersebut juga akan menguntungkan bagi negara-negara emerging market.

"Tambahan stimulus fiskal akan membuat dolar AS melemah dan itu akan selalu positif bagi emerging market dan pasar Asia," kata Joel Ng, analis di KGI Securities Singapura, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (28/1/2021).

TIM RISET CNBC INDONESIA 

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular