Analisis Teknikal

Rupiah, Nasibmu Pekan Ini Ada di Tangan Jerome Powell

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 January 2021 08:24
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Jacquelyn Martin)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.020/US$ sepanjang pekan lalu, padahal banyak sentimen positif di pasar finansial.

Joseph 'Joe' Biden yang resmi dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-46 pada 20 Januari lalu mengirimkan sentimen positif ke pasar saham global.

Selain pelantikan Biden, Senat AS yang sebelumnya dikuasai oleh Partai Republik, kini dikuasai oleh Partai Demokrat. Sehingga blue wave atau kemenangan penuh Partai Demokrat berhasil dicapai.

Parlemen AS menganut sistem 2 kamar, House of Representative (DPR) yang sudah dikuasai Partai Demokrat sejak lama, dan Senat yang pada rezim Donald Trump dikuasai Partai Republik.

Dengan dikuasainya DPR dan Senat, tentunya akan memudahkan dalam mengambil kebijakan, termasuk dalam meloloskan paket stimulus fiskal US$ 1,9 triliun.

Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) kemarin mempertahankan suku bunga acuan 3,75%, sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.

Dengan dipertahankannya suku bunga, rupiah menjadi punya tenaga untuk menguat. Sebab jika suku bunga kembali diturunkan, maka yield obligasi di Indonesia juga akan menurun, hal ini dapat membuat capital inflow menjadi seret, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi outflow yang bisa menekan rupiah.

Sebab selisih yield dengan negara-negara maju, misalnya dengan AS akan menyempit, hal itu membuat Indonesia sebagai negara berkembang menjadi kurang menarik.

Negara berkembang memiliki risiko investasi yang lebih tinggi ketimbang negara maju, sehingga untuk menarik aliran investasi diperlukan yield yang lebih tinggi.

Namun sayangnya sentimen positif dari luar dan dalam negeri tersebut belum mampu membuat rupiah melesat. Sebabnya, pelaku pasar kembali berfokus pada penyebaran virus corona yang kembali meningkat di berbagai negara, yang melihat penyebaran virus corona yang kembali meningkat, di berbagai negara sehingga pengetatan pembatasan sosial hingga lockdown kembali diterapkan.

Sementara itu di pekan ini, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan kebijakan moneter di hari Kamis dini hari waktu Indonesia.

Pengumuman tersebut sangat dinanti pelaku pasar, sebab saat ini bereda "bisik-bisik" di pasar jika di akhir tahun ini ada kemungkinan The Fed akan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini nilainya sekitar US$ 120 miliar per bulan.

Pengurangan tersebut dikenal dengan istilah tapering. Sebelum saat ini, pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke juga mengeluarkan wacana tapering.

Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS terus merosot. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk, "taper tantrum", rupiah pun jeblok.

Seandainya ketua The Fed saat ini, Jerome Powell, mengindikasikan akan melakukan tapering di akhir tahun nanti, dolar AS berpeluang bangkit dari tekanan, dan rupiah berisiko jeblok. Sebaliknya jika Powell memberikan sinyal belum akan ada tapering di tahun ini, rupiah berpotensi tembus jauh ke bawah Rp 14.000/US$.  

Selain The Fed, data pertumbuhan ekonomi AS kuartal IV-2020 juga akan menjadi perhatian. Kombinasi pengumuman The Fed dan data pertumbuhan ekonomi tersebut bisa memberikan gambaran awal bagaimana arah kebijakan moneter AS.

Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR masih tertahan di atas Rp 14.000/US$ meski sempat dijebol pada Kamis (21/1/2021). Sehari sebelumnya, rupiah membentuk pola Black Maubozu.

Rupiah kemarin membuka perdagangan di level Rp 14.050/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.020/US$, atau menguat 0,21%. Level terlemah rupiah sama dengan level pembukaan, sementara level terkuat sama dengan level penutupan, sehingga secara teknikal masih mengukir pola Black Marubozu.

Black Marubozu kerap dijadikan sinyal harga suatu instrumen akan menurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah.

Rupiah juga bergerak di bawah rerata pergerakan (moving average/MA) 50 hari atau MA 50 (garis hijau). Sehingga ruang penguatan terbuka cukup besar.

Pada November 2020 lalu terjadi death cross alias perpotongan MA 50 hari, MA 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.

Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Sementara itu, indikator stochastic bergerak mendatar dan cukup jauh dari wilayah jenuh jual (oversold) atau pun jenuh beli (overbought).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Support terdekat masih di level psikologis Rp 14.000/US$, selama tertahan di atasnya rupiah berisiko melemah ke Rp 14.080 sampai 14.100/US$ yang merupakan resisten terdekat di pekan ini, dan berada di kisaran MA 50.

Jika resisten tersebut ditembus dan tertahan di atasnya, rupiah berisiko melemah ke 14.165/US$, sebelum menuju Rp 14.200 hingga Rp 14.260/US$ di pekan ini.

Sementara jika level psikologis ditembus, rupiah menguat ke Rp 13.970/US$. Kemampuan melewati level tersebut akan membawa rupiah menguat ke Rp Rp 13.940 hingga Rp 13.900/US$.

Peluang penguatan lebih jauh di pekan ini akan terbuka cukup lebar jika rupiah mampu mengakhiri perdagangan di bawah level Rp 13.900/US$.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular