
Rupiah, Nasibmu Pekan Ini Ada di Tangan Jerome Powell

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.020/US$ sepanjang pekan lalu, padahal banyak sentimen positif di pasar finansial.
Joseph 'Joe' Biden yang resmi dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-46 pada 20 Januari lalu mengirimkan sentimen positif ke pasar saham global.
Selain pelantikan Biden, Senat AS yang sebelumnya dikuasai oleh Partai Republik, kini dikuasai oleh Partai Demokrat. Sehingga blue wave atau kemenangan penuh Partai Demokrat berhasil dicapai.
Parlemen AS menganut sistem 2 kamar, House of Representative (DPR) yang sudah dikuasai Partai Demokrat sejak lama, dan Senat yang pada rezim Donald Trump dikuasai Partai Republik.
Dengan dikuasainya DPR dan Senat, tentunya akan memudahkan dalam mengambil kebijakan, termasuk dalam meloloskan paket stimulus fiskal US$ 1,9 triliun.
Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) kemarin mempertahankan suku bunga acuan 3,75%, sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.
Dengan dipertahankannya suku bunga, rupiah menjadi punya tenaga untuk menguat. Sebab jika suku bunga kembali diturunkan, maka yield obligasi di Indonesia juga akan menurun, hal ini dapat membuat capital inflow menjadi seret, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi outflow yang bisa menekan rupiah.
Sebab selisih yield dengan negara-negara maju, misalnya dengan AS akan menyempit, hal itu membuat Indonesia sebagai negara berkembang menjadi kurang menarik.
Negara berkembang memiliki risiko investasi yang lebih tinggi ketimbang negara maju, sehingga untuk menarik aliran investasi diperlukan yield yang lebih tinggi.
Namun sayangnya sentimen positif dari luar dan dalam negeri tersebut belum mampu membuat rupiah melesat. Sebabnya, pelaku pasar kembali berfokus pada penyebaran virus corona yang kembali meningkat di berbagai negara, yang melihat penyebaran virus corona yang kembali meningkat, di berbagai negara sehingga pengetatan pembatasan sosial hingga lockdown kembali diterapkan.
Sementara itu di pekan ini, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan kebijakan moneter di hari Kamis dini hari waktu Indonesia.
Pengumuman tersebut sangat dinanti pelaku pasar, sebab saat ini bereda "bisik-bisik" di pasar jika di akhir tahun ini ada kemungkinan The Fed akan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini nilainya sekitar US$ 120 miliar per bulan.
Pengurangan tersebut dikenal dengan istilah tapering. Sebelum saat ini, pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke juga mengeluarkan wacana tapering.
Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS terus merosot. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk, "taper tantrum", rupiah pun jeblok.
Seandainya ketua The Fed saat ini, Jerome Powell, mengindikasikan akan melakukan tapering di akhir tahun nanti, dolar AS berpeluang bangkit dari tekanan, dan rupiah berisiko jeblok. Sebaliknya jika Powell memberikan sinyal belum akan ada tapering di tahun ini, rupiah berpotensi tembus jauh ke bawah Rp 14.000/US$.
Selain The Fed, data pertumbuhan ekonomi AS kuartal IV-2020 juga akan menjadi perhatian. Kombinasi pengumuman The Fed dan data pertumbuhan ekonomi tersebut bisa memberikan gambaran awal bagaimana arah kebijakan moneter AS.
