
Biden Effect! Rupiah Akhirnya Tembus ke Bawah Rp 14.000/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mampu mempertahankan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Kamis (21/1/2021), bahkan hingga menembus ke bawah Rp 14.000/US$. Dolar AS yang sedang lesu berhasil dimanfaatkan rupiah untuk menguat.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,14% ke Rp 14.000/US$. Setelahnya sempat mengalami koreksi hingga melemah tipis 0,04% ke Rp 14.025/US$.
Tetapi setelahnya rupiah kembali bangkit, hingga menguat 0,21% ke Rp 13.990/US$, menguat 0,21% di pasar spot.
Jika mampu dipertahankan hingga akhir perdagangan nanti, maka rupiah akan membukukan penguatan 3 hari beruntun.
Seiring dengan penguatan rupiah tersebut, indeks dolar AS juga terus menurun. Kemarin, indeks yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam tersebut mencatat penurunan 2 hari beruntun, dan hari ini berlanjut minus 0,19% ke 90,299.
Tekanan bagi dolar AS menguat setelah Joseph 'Joe' Biden yang resmi dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-46 pada Rabu waktu setempat.
Selain pelantikan Biden, Senat AS yang sebelumnya dikuasai oleh Partai Republik, kini dikuasai oleh Partai Demokrat. Sehingga blue wave atau kemenangan penuh Partai Demokrat berhasil dicapai.
Parlemen AS menganut sistem 2 kamar, House of Representative (DPR) yang sudah dikuasai Partai Demokrat sejak lama, dan Senat yang pada rezim Donald Trump dikuasai Partai Republik.
Dengan dikuasainya DPR dan Senat, tentunya akan memudahkan dalam mengambil kebijakan, termasuk dalam meloloskan paket stimulus fiskal US$ 1,9 triliun.
Saat stimulus tersebut cair, maka jumlah uang bereda di perekonomian AS akan bertambah, dan dolar AS berisiko tertekan.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) mulai pukul 14:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,75%. Stabilitas rupiah menjadi salah satu alasan BI diramal mempertahankan suku bunga acuannya.
Jika suku bunga kembali diturunkan, maka yield obligasi di Indonesia juga akan menurun, hal ini dapat membuat capital inflow menjadi seret, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi outflow yang bisa menekan rupiah. Sebab selisih yield dengan negara-negara maju, misalnya dengan AS akan menyempit, hal itu membuat Indonesia sebagai negara berkembang menjadi kurang menarik.
Negara berkembang memiliki risiko investasi yang lebih tinggi ketimbang negara maju, sehingga untuk menarik aliran investasi diperlukan yield yang lebih tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
