Jakarta, CNBC Indonesia - Transaksi berjalan (current account) Republik Indonesia (RI) mencatat surplus untuk pertama kalinya sejak tahun 2011 pada kuartal III-2020 lalu. Artinya, nyaris 1 dekade transaksi berjalan Indonesia selalu mengalami defisit.
Transaksi berjalan mencerminkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih berjangka panjang ketimbang aliran modal asing di sektor keuangan (hot money) yang sangat mudah datang dan pergi. Oleh karena itu, surplus transaksi berjalan menjadi penting dalam menopang penguatan rupiah.
Di kuartal IV-2020, transaksi berjalan kemungkinan masih akan mencatat surplus, sebab neraca dagang terus mencatat kinerja positif.
Pada Jumat (15/1/2021) lalu, badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca dagang di Desember 2020 mengalami surplus sebesar US$ 2,1 miliar. Dengan demikian, neraca dagang Indonesia sudah mencetak surplus dalam 8 bulan beruntun.
BPS melaporkan nilai ekspor tercatat US$ 16,54 miliar, tumbuh 14,63% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Sementara untuk impor, pada Desember 2020 sebesar US$ 14,44 miliar atau turun tipis 0,47%.
Sepanjang kuartal III-2020 surplus neraca dagang tercatat sebesar US$ 7,98 miliar, saat itu transaksi berjalan mampu surplus US$ 956,16 juta atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sementara dengan rilis BPS Jumat lalu, surplus neraca dagang di kuartal IV-2020 mencapai US$ 8,38 miliar, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya. Sehingga transaksi berjalan berpeluang besar masih surplus di 3 bulan terakhir 2020.
Harus diakui, pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) menjadi "berkah" bagi transaksi berjalan. Sebab, demi meredam penyebaran Covid-19 pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial yang membuat roda bisnis melambat signifikan, mobilitas warga juga dibatasi. Alhasil, impor menjadi merosot tajam, sehingga neraca dagang mampu mencetak surplus dalam 8 bulan beruntun di 2020, bahkan hanya mengalami defisit di bulan April dan Januari saja.
Namun, beda cerita di tahun ini, perekonomian Indonesia diprediksi bangkit, sehingga impor akan kembali meningkat.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pertamina Prediksi Impor Bensin Melonjak 54%
Berdasarkan data dari BPS, nilai impor pada tahun 2020 merosot 17,34% dari tahun 2019 menjadi US$ US$ 141,4 miliar. Impor migas tercatat mengalami kemerosotan hingga US$ 7,63 miliar atau 34,86%. Impor migas berkontribusi sebesar 10% dari total impor.
Sementara non-migas turun US$ 22,1 miliar atau 14,78% menjadi US$ 127,3 miliar tahun lalu.
Dari impor migas, data BPS menunjukkan impor minyak mentah sepanjang 2020 merosot 40,54% menjadi US$ 3,4 miliar, dan impor hasil minyak ambrol 39,41% menjadi US$ 8,3 miliar. Sementara impor gas tercatat naik 2,94%.
Di tahun ini, impor hasil minyak akan mengalami lonjakan tajam. Impor bensin pada 2021 ini diperkirakan melonjak menjadi 140 juta barel, naik 54% dibandingkan impor 2020 yang mencapai 91 juta barel.
Hal tersebut seiring dengan proyeksi penjualan bensin PT Pertamina (Persero) yang diperkirakan melonjak 32,4% menjadi 233 juta barel dari 176 juta barel pada 2020.
Data tersebut berdasarkan bahan pemaparan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (19/01/2021).
Kenaikan impor tersebut tentunya akan membebani neraca dagang, seandainya tidak dibarengi dengan peningkatan ekspor.
Begitu dengan impor nonmigas, yang kemungkinan akan kembali menanjak saat roda perekonomian berputar. Sektor manufaktur Indonesia kembali berekspansi dalam 2 bulan terakhir.
Data dari IHS Markit menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur di bulan Desember 2020 sebesar 51,3, naik dari bulan sebelumnya 50,6.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atasnya berarti ekspansi, di bawahnya berarti kontraksi.
Data PMI di bulan Desember tersebut merupakan yang tertinggi sejak Januari, atau sebelum Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi.
Dengan ekspansi tersebut, artinya permintaan impor barang modal dan bahan baku/penolong akan mengalami peningkatan. Sekali lagi, jika tidak diikuti dengan kenaikan ekspor, maka neraca dagang berisiko mengalami defisit lagi, dan mengancam transaksi berjalan di tahun ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Masih Bisa Menguat Meski Transaksi Berjalan Kembali Defisit
Meski transaksi berjalan terancam defisit kembali, tetapi bukan berarti hal tersebut buruk. Defisit transaksi berjalan bisa dipandang dari sisi positif yakni perekonomian yang berangsur-angsur pulih kembali. Toh, sebelum virus corona menyerang dunia, transaksi berjalan sudah defisit selama 9 tahun, meski bukan berarti juga defisit tersebut dapat selalu dibenarkan.
Transaksi berjalan yang kembali defisit memang akan memberikan tekanan bagi rupiah, tetapi bukan berarti akan terus melemah. Bahkan peluang penguatan rupiah masih terbuka cukup lebar.
Reuters melakukan survei terhadap 50 ahli strategi mata uang pada periode 4 - 7 Januari, hasilnya mata uang negara berkembang yang beberapa bulan terakhir menguat diramal akan melanjutkan penguatan di 2021. Indeks mata uang negara berkembang diperkirakan sekitar 2% dalam 12 bulan, meski beberapa negara masih belum akan mampu pulih ke level sebelum virus corona melanda.
Sementara itu, sebanyak 38 orang ahli strategi yang disurvei mengatakan yield yang tinggi, serta program vaksinasi yang sukses akan menjadi pemicu utama penguatan mata uang EM. Sementara 10 orang, melihat pemulihan ekonomi domestik sebagai pendorong utama.
Rupiah memiliki 3 hal yang disebutkan tersebut untuk menguat di tahun ini. Vaksinasi sudah resmi dimulai sejak pekan lalu.
Kemudian yield atau imbal hasil obligasi Indonesia masih lebih tinggi ketimbang negara-negara EM lainnya. Yield tenor 10 tahun misalnya masih di kisaran 6%, dengan inflasi sekitar 1,6% year-on-year (YoY), maka real yield yang dihasilkan sekitar 4,4%.
Real yield tersebut masih lebih tinggi ketimbang negara emerging market lainnya, hanya kalah dari Afrika Selatan sebesar 5,5%.
Dengan yield yang tinggi, aliran hot money kemungkinan besar akan masuk ke pasar obligasi Indonesia, yang bisa menopang penguatan rupiah. Namun, seperti disebutkan sebelumnya, hot money gampang datang dan pergi, yang tentunya membuat rupiah lebih berfluktuasi.
Terakhir dari segi pemulihan ekonomi, Dana Moneter Internasional (IMF) berikan pandangan positif untuk ekonomi Indonesia 2021. Perkiraan pertumbuhan Produk Domestic Bruto (PDB) Indonesia tahun 2021 berada di 4,8% lebih besar 40 basis poin (bps) ketimbang perkiraan IMF sebelumnya di 4,4%. Tahun 2022, ekonomi Indonesia bahkan diprediksi tumbuh 6%.
Selain itu, dolar AS juga diprediksi akan tertekan hingga 2 tahun ke depan. Sebabnya bank sentral AS (The Fed) mengaskan tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023.
Kemudian, AS Rabu (20/1/2021) waktu setempat akan melantik Joseph 'Joe' Biden sebagai presiden ke-46 menggantikan Donald Trump yang kalah dalam pemilihan umum November 2020 lalu.
Biden pada pekan lalu mengungkapkan rencana stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun. Pada bulan Maret 2020 lalu, pemerintah AS menggelontorkan stimulus fiskal pertama akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) senilai US$ 2 triliun.
Setelah stimulus tersebut dirilis, nilai tukar dolar AS terus melemah, maklum saja jumlah uang tunai yang bereda di perekonomian menjadi bertambah. Efek yang sama kemungkinan besar akan terjadi setelah stimulus fiskal dari Biden cair.
Selain itu, hasil survei terbaru Reuters pada 4 -7 Januari terhadap 70 ahli strategi mata uang, menunjukkan sebanyak 46% memprediksi dolar AS masih akan melemah dalam 1 sampai 2 tahun ke depan. Persentase tersebut naik ketimbang survei bulan Desember lalu sebesar 39%.
Sementara yang memprediksi the greenback akan melemah lebih dari 2 tahun sebesar 10%, sama dengan hasil survei bulan lalu.
Artinya, peluang penguatan rupiah di tahun ini bisa datang dari dalam dan luar negeri, dengan catatan Covid-19 berhasil dikendalikan, dan vaksinasi berjalan lancar.
TIM RISET CNBC INDONESIA