
Rupiah Ternyata Loyo, Dolar Singapura & Australia Naik 3 Hari

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (20/1/2021), tetapi ternyata melawan dolar Singapura dan Australia malah melemah. Bahkan pelemahan rupiah melawan kedua dolar tersebut terjadi sejak awal pelan ini.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 10:21 WIB, rupiah menguat 0,14% melawan dolar AS ke Rp 14.030/US$. Di saat yang sama, rupiah malah melemah 0,19% dan 0,24% melawan dolar Singapura dan Australia ke Rp 10.585,84/SG$ dan 10.837,48/AU$.
Pergerakan tersebut menunjukkan rupiah masih kurang bertenaga, hanya mampu menguat melawan dolar AS yang tertekan jelang pelantikan Joseph 'Joe' Biden menjadi presiden AS ke-46.
Biden pada pekan lalu mengungkapkan rencana stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun. Pada bulan Maret 2020 lalu, pemerintah AS menggelontorkan stimulus fiskal pertama akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) senilai US$ 2 triliun.
Setelah stimulus tersebut dirilis, nilai tukar dolar AS terus melemah, maklum saja jumlah uang tunai yang bereda di perekonomian menjadi bertambah. Efek yang sama kemungkinan besar akan terjadi setelah stimulus fiskal dari Biden cair.
Alhasil, dolar AS melemah sejak Selasa kemarin.
Sementara itu dolar Singapura terus menguat sejak awal pekan ini setelah data dari pemerintah Singapura menunjukkan ekspor non-minyak di bulan Desember melesat 6,8% year-on-year (YoY), jauh lebih tinggi dari ekspektasi ekonom yang hanya memprediksi pertumbuhan 0,3% YoY, menurut CNBC International.
Setelah 3 bulan mengalami penurunan, baru pada Desember ekspor Singapura akhirnya kembali menunjukkan peningkatan. Di bulan November, ekspor bahkan merosot 5% YoY. Peningkatan ekspor Singapura menunjukkan perekonomian global mulai pulih setelah dihantam pandemi penyakit virus corona.
Di sisi lain, dolar Australia menguat berkat harga-harga komoditas yang menanjak. Bahkan di tahun ini dikatakan sebagai awal dari supercycle merupakan periode penguatan komoditas dalam jangka panjang.
Profesor ekonomi terapan di John Hopkins University, Steve Hanke, dalam wawancara dengan Kitco, Selasa (22/12/2020), mengatakan komoditas akan memasuki fase supercycle tersebut pada tahun 2021 mendatang.
"Supply sangat terbatas, stok rendah, dan ekonomi mulai bangkit dan maju ke depan, harga komoditas akan naik dan memulai supercycle. Saya pikir saat ini kita sudah melihat tanda awalnya," kata Hanke, sebagaimana dilansir Kitco.
Harga bijih besi, komoditas ekspor utama Australia terus menanjak, dan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sekalinya Perkasa, Rupiah Hantam 3 Dolar Sekaligus!
