
Dolar AS Bangkit, Sinyal Investor Ragu Ekonomi Akan Pulih?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) sempat menyentuh level terendah dalam nyaris 3 tahun terakhir di awal tahun ini. Tetapi, setelahnya, indeks yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam ini mulai bangkit.
Harapan akan pulihnya perekonomian global setelah mengalami resesi pada tahun lalu menjadi salah satu penekan dolar AS.
Maklum saja, menyandang status safe haven, dolar AS menjadi kurang menarik saat perekonomian pulih. Sebab, investor akan mengalirkan modalnya ke aset-aset berisiko yang memberikan imbal hasil tinggi.
Dana moneter international (International Monetary Fund/IMF) pada bulan Oktober tahun lalu memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2021 sebesar 5,2% setelah mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 4,4% di 2020.
Kepala Ekonomi IMF, Gita Gopinath, mengatakan perekonomian global mengawali 2021 dalam posisi yang lebih baik ketimbang yang diprediksi sebelumnya. Tapi, lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) berisiko memperburuk lagi outlook perekonomian.
"Sebenarnya saat ini kita berada dalam posisi yang lebih baik dari yang kami perkirakan di tahun 2020, dan itu merupakan hal yang bagus. Tetapi saat ini merupakan perlombaan antara virus melawan vaksin, dan sampai kita melewatinya, saya pikir saat ini akan menjadi periode yang sulit," kata Gopinath, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (5/1/2021).
IMF akan memberikan proyeksi terbarunya pada 26 Januari mendatang.
China memberikan optimisme akan bangkitnya perekonomian global, tetapi lagi-lagi muncul catatan akibat kasus Covid-19 yang kembali muncul di Negeri Tiongkok.
China melaporkan produk domestik bruto (PDB) kuartal IV-2020 tumbuh 6,5% year-on-year (YoY), lebih tinggi dari prediksi Reuters sebesar 6,1% YoY, dan melesat dari kuartal sebelumnya 4,9% YoY.
Saat negara-negara lain masuk ke jurang resesi, China berhasil lolos, sebab produk domestik bruto (PDB) hanya sekali mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 6,8% di kuartal I-2020. Setelahnya, ekonomi China kembali bangkit dan membentuk kurva V-Shape.
Tidak hanya itu, ekspor China juga mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Di tahun 2020, ekspor China dilaporkan naik 3,6% dari tahun sebelumnya menjadi US$ 2,6 triliun, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Sementara itu, impor hanya turun 1,1% di tahun 2020 lalu. Artinya aktivitas ekonomi China sudah berputar cukup kencang saat negara-negara lain tersendat akibat menghadapi virus corona.
Roda perekonomian banyak negara masih tersendat-sendat di tahun 2020 lalu, tapi China masih sukses membukukan rekor ekspor.
Apalagi ketika perekonomian global mulai pulih setelah adanya vaksinasi massal, besar kemungkinan ekspor China akan kembali meroket. Sehingga di tahun ini diprediksi akan terjadi China "boom" atau meroketnya pertumbuhan ekonomi China, dengan peningkatan ekspansi sektor manufaktur akibat peningkatan ekspor, serta dimulainya vaksinasi massal di berbagai negara.
"PDB kuartal IV-2020 China luar bisa. Jika anda melihat 6,5%, itu bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan sebelum pandemi Covid-19 melanda. Dari perspektif itu, pemulihan ekonomi V-shape China sudah tercapai," kata Haibin Zhu, kepala ekonom China di JP Morgan, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (18/1/2021) kemarin.
Dengan data kuartal IV tersebut, sepanjang 2020 ekonomi China tumbuh 2,3%, menjadi yang terendah dalam 4 dekade terakhir. Tetapi, di tengah pandemi Covid-19, pertumbuhan tersebut menjadi yang terbaik di antara negara-negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
Meski demikian, Zhu memperingatkan pemulihan ekonomi China terancam melambat sebab provinsi Hebei yang berbatasan dengan ibu kota Beijing kembali mengalami lonjakan kasus Covid-19. Sebagian wilayah Hebei juga sudah di-lockdown.
Sejak 13 Januari lalu, China konsisten melaporkan penambahan kasus Covid-19 di atas 100 orang.
Tidak hanya di China, lonjakan kasus juga terjadi banyak negara, mulai dari Asia, Eropa, hingga Amerika Serikat. Alhasil kebijakan pengetatan pembatasan sosial dilakukan, dan pemulihan ekonomi global kemungkinan akan terhambat.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Akan ada Cash is The King Jilid II?
Akibat lonjakan kasus Covid-19 di berbagai negara. pada pekan lalu mayoritas bursa saham utama dunia rontok, begitu juga dengan emas yang merupakan aset aman, sementara dolar AS menguat.
Melansir data Refinitiv, indeks S&P 500 sepanjang pekan lalu merosot 1,48% ke 3.768,25, turun dari rekor tertinggi sepanjang masa 3.826,69, yang dicapai pada 8 Januari lalu.
Indeks Dow Jones juga menjauhi rekor yang dicapai 2 minggu lalu, setelahnya melemah 0,91% ke 30.814,26 pada pekan kedua Januari 2021.
Hal yang sama juga terjadi pada indeks saham teknologi, Nasdaq, pada pekan lalu merosot 1,54% ker 12.998,502, menjauh dari rekornya 13.208,09.
Sementara harga emas pada periode yang sama merosot 1,2%
Penurunan emas dan bursa saham tersebut terjadi saat indek dolar AS menguat sehingga muncul isu cash is the king jilid II.
Artinya pelaku pasar lebih suka memegang uang tunai ketimbang aset-aset lainnya baik itu aset aman (safe haven) seperti emas maupun aset berisiko seperti saham. Tetapi bulan sembarang uang tunai, hanya dolar AS.
"Perspektif ekonomi jangka pendek masih terlihat bermasalah, itulah sebabnya orang-orang takut dan kembali ke uang tunai. Pasar menjadi rentan," kata Peter Hug, Direktur global trading Kitco Metals.
Sepanjang pekan lalu, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS menguat 0,75% ke 90,772, yang merupakan level tertinggi sejak 21 Desember.
Fenomena cash is the king pernah terjadi pada bulan Maret lalu saat penyakit akibat virus corona (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi. Saat itu terjadi kepanikan di pasar, semua aset mulai saham hingga emas mengalami aksi jual masif, dan dolar AS meroket.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ekonomi AS Banjir Likuiditas, Dolar AS Tak Berkutik
Patut diingat, faktor-faktor yang membuat dolar AS jeblok hingga nyaris ke level terendah 3 tahun masih ada di tahun ini.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih mempertahankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan, dan suku bunga 0,25% tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.
Kemudian, Presiden AS terpilih Joseph 'Joe' Biden dengan Partai Demokrat juga akan menambah stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun, yang akan segera dicairkan setelah menjabat menjadi orang nomer 1 di Negeri Adikuasa.
Janet Yellen, mantan ketua bank sentral AS (The Fed) yang kini dinominasikan menjadi menteri keuangan AS pada hari ini akan berbicara ke hadapan Komite Keuangan Senat AS dan menegaskan pemerintah harus "melakukan langkah besar" pada paket stimulus fiskal selanjutnya.
"Presiden terpilih, maupun saya, mengusulkan paket stimulus tanpa meningkatkan beban utang negara. Tapi saat ini, dengan suku bunga terendah dalam sejarah, hal yang tepat yang kita harus kita lakukan adalah mengambil langkah besar," kata Yellen dalam pernyataan pembukaan yang akan disampaikan di hadapan komite finansial.
"Saya percaya, manfaat yang didapat (dari stimulus fiskal) akan lebih besar ketimbang biaya yang harus dikeluarkan, terutama membantu masyarakat yang sudah berjuang dalam waktu lama," isi pernyataan tersebut yang diperoleh Reuters Senin (18/1/2021).
Pada tahun lalu, stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun digelontorkan pada bulan Maret menjadi salah satu pemicu kemerosotan dolar AS.
Kombinasi stimulus fiskal dan moneter membuat perekonomian AS banjir likuiditas, yang membuat nilai mata uangnya tertekan.
Selain itu, hasil survei terbaru Reuters pada 4 -7 Januari terhadap 70 ahli strategi mata uang, menunjukkan sebanyak 46% memprediksi dolar AS masih akan melemah dalam 1 sampai 2 tahun ke depan. Persentase tersebut naik ketimbang survei bulan Desember lalu sebesar 39%.
![]() |
Sementara yang memprediksi the greenback akan melemah lebih dari 2 tahun sebesar 10%, sama dengan hasil survei bulan lalu.
Sedangkan yang memprediksi pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung selama 3 bulan turun menjadi 14% dari sebelumnya 15%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cuan Selangit! Ini Mata Uang yang Bikin Dolar AS Takluk