
Ngeri-ngeri Sedap, Mau Cuan? Coba Cek Sederet Saham Receh

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam 3 bulan terakhir sudah melesat kencang 27,69%. Melesatnya IHSG tentu saja diakibatkan oleh terapresiasinya saham-saham berkapitalisasi pasar besar yang menjadi pemberat indeks.
Naiknya saham-saham big caps tersebut tentu saja meningkatkan valuasinya sehingga saham-saham tersebut tidak bisa dikatakan murah lagi apabila dibandingkan dengan periode pandemi corona sedang ganas-ganasnya.
Hal in menyebabkan banyak investor beralih mencari saham-saham berkapitalisasi pasar kecil yang masih murah dan menarik dilirik walaupun tentu saja saham-saham ini memiliki resiko tersendiri dibandingkan dengan saham-saham big cap.
Berikut Tim Riset CNBC Indonesia mengkompilasi saham-saham berkapitalisasi pasar kecil yakni di bawah Rp 3 triliun yang belum melesat kencang dan masih menarik untuk dilirik.
Berberapa saham murah yang masih menarik untuk dilirik para pelaku pasar menurut Tim Riset CNBC Indonesia 3 diantaranya berasal dari sektor finansial dimana terdapat 2 bank dan 1 asuransi.
Sektor finansial menarik untuk dilirik karena banyak analis yang memprediksikan sektor ini akan overweight terhadap indeks karena sifat sektor ini yang merupakan sektor siklikal.
Sektor finansial diuntungkan pada tahun kebangkitan ekonomi 2021 karena kredit macet yang sebelumnya berdatangan karena pandemi corona bisa kembali lancar dengan sehingga angka Non Performing Loan (NPL) dapat ditekan dan akan menurunkan tingkat pencadangan dan ini tentu saja akan meningkatkan laba bersih.
Selanjutnya pemberian kredit yang sebelumnya tertahan karena bank takut akan risiko gagal bayar para peminjam tentunya juga menjadi berkurang dengan kebangkitan ekonomi 2021 ini.
Selain itu muncul pula sentimen positif dari peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum dimana di tahun ini seluruh bank harus memiliki modal inti minimal Rp 2 triliun atau beresiko di turunkan kelasnya menjadi BPR.
Dengan munculnya POJK ini maka bank gencar melakukan konsolidasi ataupun aksi korporasi demi memenuhi aturan modal inti minimum ini, bahkan banyak pula bank yang tidak mampu memenuhi aturan minimun ini mulai mencari investor strategis untuk mengakuisisi bank.
Apabila nantinya ada aksi korporasi berupa akuisisi oleh korporasi raksasa lain, tentu saja ini akan menguntungkan harga sahamnya karena perbankan kedepanya akan mendapat sokongan dana dan ekosistem korporasi raksasa tersebut.
Meskipun demikian tentunya bank-bank kecil ini juga memiliki resiko didegradasi menjadi BPR oleh OJK apabila nantinya tidak bisa memenuhi aturan modal inti tersebut yang tentu saja menjadi sentimen negatif bagi harga sahamnya.
Terdapat 2 bank yang berpotensi diuntungkan dari POJK ini yakni PT Bank Ganesha Tbk (BGTG) dan PT Bank MNC Tbk (BABP) dimana BABP yang tentunya dibawah naungan MNC Group tentunya berpotensi disuntikkan dana jumbo oleh induk usahanya.
Ketiga lembaga finansial tersebut juga masih tergolong murah dengan BGTG yang memiliki valuasi harga dibandingkan dengan nilai bukunya (PBV) sebesar 0,73 kali, BABP dengan PBV sebesar 0,83 kali, dan TUGU dengan PBV di angka 0,41 kali jauh berada di bawah rata-rata PBV industri finansial di angka 1,7 kali.
Sedangkan apabila menggunakan metode valuasi harga dibandingkan dengan laba bersihnya didapatkan valuasi yang kurang menggiurkan bagi tiga bank tersebut karena labanya harus terpangkas oleh pencadangan seperti yang diwajibkan oleh PSAK 71 di tengah pandemi corona.
Tercatat PER BGTG di angka 47,26 kali dan BABP di angka 351,07 kali. Ketiga PER tersebut berada di bawah rata-rata PER industri perbankan di angka 25,2 kali.
Sedangkan PER asuransi TUGU masih menarik untuk dilirik karena PERnya masih tergolong murah di angka 10,38 kali dibandingkan dengan PER rata-rata industri perbankan di angka 16,6 kali.
Kapitalisasi keempat perusahaan tersebut sendiri tergolong kecil yakni kecilnya kapitalisasi pasar ini tentu saja menyebabkan saham-saham ini terbang di bawah radar para investor besar. Tercatat ketiga perbankan memiliki market cap di bawah Rp 1,5 triliun sedangkan TUGU memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp 3,17 triliun.
Selanjutnya ada emiten distributor emas yakni PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) dimana tentu saja perseroan diuntungkan dengan awareness investor ritel yang semakin meningkat ditambah outlook harga emas untuk tahun 2021 masih positif.
Prospek harga emas yang masih positif tak terlepas dari suksesnya Calon Presiden asal Partai Demokrat, Joe Biden menjadi Presiden Terpilih Amerika Serikat yang siap dilantik 20 Januari mendatang.
Secara historis Partai Demokrat doyan menggelontorkan dana stimulus fiskal dalam jumlah besar, apalagi di tengah terjadinya pandemi corona. Dengan cairnya stimulus tersebut tentu saja jumlah uang dolar beredar akan meningkat pesat sehingga akan menekan nilai dolar.
Dengan tertekanya nilai dolar maka aset-aset yang diperdagangkan dengan satuan dolar seperti harga emas global di pasar spot tentunya akan melesat kencang. Tercatat HRTA masih tergolong murah dengan PBV di angka 0,83 kali dan PER di angka 6,08 kali. Kapitalisasi pasar HRTA sendiri tergolong kecil di angka Rp 1,09 triliun sehingga kurang dilirik oleh para investor.
Selanjutnya ada emiten di sektor konstruksi yang dikendalikan oleh keluarga Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12 yakni PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK). Sektor konstruksi tentunya menarik dilirik karena sektor ini yang merupakan sektor siklikal yang diuntungkan dengan pulihnya perekonomian pada tahun 2021.
Selain itu sentimen Sovereign Wealth Fund alias SWF dimana Lembaga Pengelola Investasi tersebut akan menjadi alternatif pembiayaan untuk pembangunan proyek infrastruktur di Indonesia juga menguntungkan sektor konstruksi.Selanjutnya dengan adanya kepastian investasi di Tanah Air maka kedepanya akan muncul banyak investasi asing di sektor riil di Indonesia yang tentu saja lagi-lagi menguntungkan sektor konstruksi.
BUKK sendiri masih tergolong murah dengan PBV di angka 0,89 kali dan PER di angka 6,04 kali dimana keduanya lebih baik daripada PBV dan PER rata-rata emiten konstruksi di angka masing-masing 1,6 kali dan 114 kali. Sedangkan kapitalisasi pasar BUKK juga tergolong mini yakni sebesar Rp 2,44 triliun.
Tentu saja selain menyimpan potensi kenaikan yang lumayan, saham-saham ini tergolong memiliki resiko yang tinggi pula karena transaksinya yang kurang likuid dan adanya potensi harga saham mudah digerakkan oleh market maker karena kapitalisasi pasarnya yang kecil.
Selain itu tata kelola perusahaan yang baik (GCG) juga perlu diperhatikan, karena biasanya harga saham-saham menjadi murah karena investor tidak percaya perusahaan tersebut dikelola dengan GCG yang baik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500