Geger Nikel, Masih Layakkah Saham TINS Diborong Investor?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
18 January 2021 08:34
Tambang PT Timah di Pemali, Pulau Bangka (REUTERS/Fransiska Nangoy)
Foto: Tambang PT Timah di Pemali, Pulau Bangka (REUTERS/Fransiska Nangoy)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham emiten nikel PT Timah Tbk (TINS) menguat 3,54% ke level Rp 2.340/saham pada perdagangan Jumat (15/1/21) akhir pekan lalu. Sepanjang pekan lalu, saham TINS sudah menguat 28,93% dan selama 3 bulan terakhir, saham TINS telah melesat hingga 231,91%.

Nilai transaksi saham TINS pada perdagangan akhir pekan lalu mencapai Rp 1 triliun dengan volume yang diperdagangkan sebanyak 439,7 miliar.

Penguatan saham TINS didorong oleh kenaikan harga nikel yang masih terjadi hingga akhir pekan lalu.

Nikel sendiri merupakan salah satu logam hasil tambang yang digunakan untuk berbagai keperluan. Di pasar dikenal ada dua jenis nikel yaitu nikel kelas I dan kelas II.

Nikel kelas II banyak digunakan untuk pembuatan stainless steel, sementara kelas I digunakan untuk produk lain seperti komponen baterai mobil listrik.

Sentimen makin maraknya penggunaan mobil listrik dan tren penjualan mobil listrik yang meningkat membuat harga nikel mengalami kenaikan yang pesat.

Selain itu, Permintaan yang tinggi dari produsen stainless steel yang menyumbang sekitar dua pertiga dari permintaan nikel global yang diperkirakan sekitar 23 juta ton tahun lalu. Permintaan yang kokoh membuat harga terdongkrak.

Namun kenaikan produksi NPI Indonesia diperkirakan bakal menurunkan harga nikel. Produksi NPI Indonesia diperkirakan naik antara 690.000 hingga 800.000 ton tahun ini.

Sebelumnya, kekurangan bijih nikel akan diperparah oleh musim hujan di Filipina, yang kemungkinan akan mengganggu pasokan hingga setidaknya Januari 2021.

Itulah mengapa harga nikel bisa reli tak terhenti. Di sisi lain outlook bullish adanya periode super-cycle commodity setelah pandemi Covid-19 dan diperkirakan bakal membuat harga komoditas tambang ini melesat dan tembus US$ 20.000/ton.

Dalam laporan keuangan TINS per 30 September 2020, perseroan masih membukukan rugi bersih yang dapat diatribusikan ke entitas induk sebesar Rp 255 miliar, naik dari periode yang sama pada tahun 2019 sebesar Rp 176 miliar.

Pendapatan bersih perseroan juga turun menjadi Rp 11,88 triliun di kuartal ketiga tahun 2020. Beban pokok pendapatan perseroan juga turun menjadi Rp 11,12 triliun dari sebelumnya pada September 2019 sebesar Rp 13,53 triliun.

Turunnya pendapatan bersih perseroan diakibatkan dari turunnya produksi beberapa logam yang diproduksi oleh perseroan, dengan jumlah total per 30 September mencapai Rp 11,3 triliun atau tutun 18%. Produk logam tersebut yakni logam timah dan tin solder.

Sedangkan, turunnya beban pokok pendapatan diakibatkan dari penurunan bahan baku bijih timah yang turun menjadi Rp 4,41 triliun.

Dari posisi neraca, total liabilitas jangka pendek perseroan per 30 September 2020 sebesar Rp 8,13 triliun, turun dari posisi sebelumnya yang sebesar Rp 11,96 triliun.

Sementara, total liabilitas jangka panjang perseroan pada kuartal III-2020 naik menjadi Rp 3,69 triliun.

Sedangkan total ekuitas yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk turun 6,3% menjadi Rp 4,93 triliun per 30 September 2020.

Adapun total aset perseroan per 30 September 2020 naik menjadi Rp 16,75 triliun dari periode Desember 2019 sebesar Rp 20,36 triliun.

Secara fundamental, saham TINS yang ditunjukkan oleh valuasi harga dibanding nilai bukunya (price to book value/PBV) masih cukup terjangkau di angka 3,42 kali, namun PBV TINS sudah lebih mahal sedikit dibandingkan dengan rata-rata saham pertambangan lainnya yang di angka 0,83 kali dilansir dari Refinitiv.

PBV adalah rasio harga terhadap nilai buku, biasa digunakan untuk melihat seberapa besar kelipatan dari nilai pasar saham perusahaan dengan nilai bukunya. Misalkan PBV sebesar 3x, artinya harga saham sudah tumbuh sebesar 3 kali lipat dibandingkan kekayaan bersih perusahaan.

Sedangkan apabila menggunakan metode valuasi laba bersih dibandingkan dengan harga sahamnya (price to earnings ratio/PER), karena saham TINS masih mencetak rugi bersih, maka PER TINS tidak dapat diukur secara signifikan, karena PER TINS juga berada di zona negatif, yakni -51,23 kali. PER adalah perbandingan antara harga saham dengan laba bersih perusahaan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular