Wall Street 2020: Dari Tekor Jadi Rekor!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 January 2021 19:00
New York Stock Exchange, (NYSE)
Ilustrasi Bursa Saham AS (REUTERS/Brendan McDermid)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) menutup 2020 dengan gilang gemilang. Di tengah ancaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), Wall Street berhasil menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Pada perdagangan terakhir 2020, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,65% ke 30.606,48. Sementara S&P 500 naik 0,64% menjadi 3.756,07 dan Nasdaq Composite bertambah 0,14% ke 12.888,28. DJIA dan S&P 500 menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa.

Selama 2020, DJIA membukukan penguatan 7,25% secara point-to-point. Sedangkan S&P 500 melesat 16,31% dan Nasdaq meroket 43,67%.

wallSumber: Refinitiv

Tidak kurang Presiden AS Donald Trump ikut semringah. Dalam cuitan di Twitter, sang presiden ke-45 Negeri Adidaya menyatakan gembira dengan pencapaian bursa saham yang mencatatkan rekor baru.

Namun perjalanan Wall Street tidak mulus. Pada kuartal II-2020, seperti indeks saham lainnya di dunia, DJIA cs tertekan parah.

Maklum, saat itu AS (dan dunia) sedang getol-getolnya menerapkan pembatasan sosial alias social distancing untuk menekan penyebaran virus corona. Pada pertengahan Maret, S&P 500 ambles 9,5%, koreksi harian terdalam sejak 1987.

Namun selepas Maret, Wall Street mulai bangkit. Wall Street mulai menjalani periode bull market pada 23 Maret yang berlangsung hingga akhir tahun. Ini menjadi periode bull market terpanjang dalam sejarah bursa saham Negeri Paman Sam.

Kebijakan fiskal dan moneter AS yang akomodiatif sangat mendukung pasar saham. Tahun lalu, pemerintahan Trump menggelontorkan stimulus fiskal bernilai total sekitar US$ 2 triliun.

Sementara bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) juga menerapkan kebijakan moneter longgar. Suku bunga acuan Federal Funds Rate dipangkas habis-habisan hingga mendekati nol, seperti saat krisis keuangan global 2008-2009.

Suku bunga rendah sangat menguntungkan pasar saham. Sebab penurunan suku bunga akan sangat berdampak terhadap pasar obligasi. Berinvestasi di aset berpendapatan tetap menjadi kurang menguntungkan, sehingga investor beralih ke instrumen berisiko yang menjanjikan cuan tinggi.

Selain itu, Jerome 'Jay' Powell dan sejawat di The Fed juga mengguyur likuiditas di pasar melalui kebijakan pembelian aset di pasar keuangan (quantitative easing). Tidak hanya itu, The Fed juga menyediakan fasilitas kredit kepada pemerintah daerah, dunia usaha, sampai rumah tangga yang membutuhkan.

Gelontoran stimulus fiskal plus aliran uang tidak berseri dari The Fed sedikit banyak akan merembes ke pasar keuangan. 'Banjir' likuiditas ini memunculkan mentalitas 'beli, beli, beli' sehingga membuat pasar saham sangat bergairah.

"Bagi pasra saham, ini adalah tahun yang bullish meski dunia sedang 'gila'. Investor sudah menentukan siapa pemenang dan siapa pecundang. Sekarang, saatnya kita melangkah maju," kata Mike Zigmont, Head of Research and Trading di Harvest Volatility Management, sebagaimana dikutip dari Reuters.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular