Andai Pasar Buka, Rupiah Harusnya Bisa Tembus Rp 14.000/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
31 December 2020 08:20
rupiah melemah terhadap Dollar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Banjir likuiditas di perekonomian AS menjadi penyebab dolar AS diprediksi masih akan tertekan.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mengumumkan kebijakan moneter pertengahan bulan ini berkomitmen untuk menjalankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) sampai pasar tenaga kerja AS kembali mencapai full employment dan inflasi konsisten di atas 2%.

Artinya kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang lama. The Fed juga menegaskan akan menambah nilai QE jika perekonomian AS kembali melambat.

The Fed memberikan proyeksi inflasi yang dilihat dari belanja konsumsi personal (personal consumption expenditure/PCE) di tahun ini sebesar 1,2%, kemudian di tahun depan 1,8%. Artinya masih belum mencapai target di atas 2%, sehingga pada tahun depan kebijakan moneter yang diterapkan masih ultra longgar.

Besarnya QE yang sudah digelontorkan tercermin dari Balance Sheet The Fed yang menunjukkan nilai surat berharga yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, balance sheet The Fed akan membesar.

Di bulan Februari, sebelum virus corona menjadi pandemi, nilai Balance Sheet The Fed sekitar US$ 4,1 triliun, sementara posisi di 9 Desember sebesar US$ 7,2 triliun. Artinya selama pandemi ini, The Fed sudah membanjiri perekonomian AS dengan likuiditas lebih dari US$ 3 triliun.

Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, sebab saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008 The Fed juga melakukan hal yang sama. Nilai Balance Sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.

Dengan agresifnya The Fed membanjiri perekonomian AS dengan duit, maka wajar jika nilai dolar AS terus melemah. Secara teori, semakin banyak uang beredar maka nilai tukarnya akan semakin melemah.

Selain QE, The Fed juga berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan <0,25% dalam waktu yang lama.

"Langkah-langkah ini akan memastikan kebijakan moneter akan terus memberikan dukungan yang kuat terhadap perekonomian sampai pemulihan tercapai," kata Ketua The Fed, Jerome Powell, saat konferensi pers, sebagaimana dilansir CNBC International.

Data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.

Alhasil, dolar AS masih akan tertekan setidaknya 2 tahun ke depan.

Belum lagi stimulus fiskal yang digelontorkan pemerintah AS. Di awal pekan ini, Presiden AS, Donald Trump, sudah menandatangani rancangan undang-udang (RUU) stimulus fiskal senilai US$ 900 miliar.

Presiden Trump sebentar lagi akan lengser dari jabatannya, dan digantikan oleh Joseph 'Joe' Biden, pada 20 Januari mendatang. Biden sebelumnya sudah mengatakan akan menggelontorkan stimulus tambahan guna membantu perekonomian AS. Sehingga ke depannya, tekanan bagi dolar AS akan semakin bertambah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular