
Andai Pasar Buka, Rupiah Harusnya Bisa Tembus Rp 14.000/US$

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah menguat 0,5% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.040/US$ Rabu kemarin (30/12), yang merupakan perdagangan terakhir pasar spot di tahun 2020.
Seandainya hari ini, Kamis (31/12/2020) perdagangan masih berlangsung, rupiah bisa melanjutkan penguatan, bahkan tidak menutup kemungkinan menembus Rp 14.000/US$.
Potensi penguatan rupiah terindikasi dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang pagi ini lebih kuat dibandingkan beberapa saat sebelum penutupan perdagangan Rabu kemarin.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Aksi jual yang terus melanda dolar AS menjadi kunci penguatan rupiah sejak Rabu kemarin. Maraknya aksi jual the greenback terlihat dari data US Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang menunjukkan nilai posisi jual (short) terhadap dolar AS pada pekan yang berakhir 21 Desember 2020 sebesar US$ 30,15 miliar. Nilai tersebut merupakan yang tertinggi dalam tiga bulan terakhir.
Alhasil, dolar AS terus merosot dan rupiah mampu menguat.
Buruknya kinerja dolar AS terlihat dari indeksnya yang ambrol 2 hari terakhir ke level terendah dalam lebih dari 2,5 tahun terakhir. Rabu kemarin, indeks dolar AS merosot 0,35% ke Rp 89,680, yang merupakan level terendah sejak 19 April 2018.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Stimulus Moneter dan Fiskal Buat Dolar AS Tertekan
Banjir likuiditas di perekonomian AS menjadi penyebab dolar AS diprediksi masih akan tertekan.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mengumumkan kebijakan moneter pertengahan bulan ini berkomitmen untuk menjalankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) sampai pasar tenaga kerja AS kembali mencapai full employment dan inflasi konsisten di atas 2%.
Artinya kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang lama. The Fed juga menegaskan akan menambah nilai QE jika perekonomian AS kembali melambat.
The Fed memberikan proyeksi inflasi yang dilihat dari belanja konsumsi personal (personal consumption expenditure/PCE) di tahun ini sebesar 1,2%, kemudian di tahun depan 1,8%. Artinya masih belum mencapai target di atas 2%, sehingga pada tahun depan kebijakan moneter yang diterapkan masih ultra longgar.
Besarnya QE yang sudah digelontorkan tercermin dari Balance Sheet The Fed yang menunjukkan nilai surat berharga yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, balance sheet The Fed akan membesar.
Di bulan Februari, sebelum virus corona menjadi pandemi, nilai Balance Sheet The Fed sekitar US$ 4,1 triliun, sementara posisi di 9 Desember sebesar US$ 7,2 triliun. Artinya selama pandemi ini, The Fed sudah membanjiri perekonomian AS dengan likuiditas lebih dari US$ 3 triliun.
Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, sebab saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008 The Fed juga melakukan hal yang sama. Nilai Balance Sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.
Dengan agresifnya The Fed membanjiri perekonomian AS dengan duit, maka wajar jika nilai dolar AS terus melemah. Secara teori, semakin banyak uang beredar maka nilai tukarnya akan semakin melemah.
Selain QE, The Fed juga berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan <0,25% dalam waktu yang lama.
"Langkah-langkah ini akan memastikan kebijakan moneter akan terus memberikan dukungan yang kuat terhadap perekonomian sampai pemulihan tercapai," kata Ketua The Fed, Jerome Powell, saat konferensi pers, sebagaimana dilansir CNBC International.
Data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.
Alhasil, dolar AS masih akan tertekan setidaknya 2 tahun ke depan.
Belum lagi stimulus fiskal yang digelontorkan pemerintah AS. Di awal pekan ini, Presiden AS, Donald Trump, sudah menandatangani rancangan undang-udang (RUU) stimulus fiskal senilai US$ 900 miliar.
Presiden Trump sebentar lagi akan lengser dari jabatannya, dan digantikan oleh Joseph 'Joe' Biden, pada 20 Januari mendatang. Biden sebelumnya sudah mengatakan akan menggelontorkan stimulus tambahan guna membantu perekonomian AS. Sehingga ke depannya, tekanan bagi dolar AS akan semakin bertambah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS