
Ini Rahasia Investasi BP Jamsostek Tetap Aman Kala Pandemi!

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia telah memiliki jaminan sosial bagi pekerja sejak tahun 1977, yakni Perum Astek yang menjadi cikal-bakal Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BP Jamsostek). Di tengah tahun pandemi, bagaimana kondisi lembaga itu dan investasinya?
Melalui proses panjang sejak PERUM ASTEK berdiri 43 tahun yang lalu, BP Jamsostek sebelumnya pada 1992 bernama PT Jamsostek (Persero) melalui Undang-undang No. 3/1992.
Kemudian, disusul pengesahan Undang-Undang No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), hingga akhirnya lembaga itu pun berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan hingga saat ini.
Ia menjadi satu-satunya badan hukum publik bersifat nirlaba yang menyelenggarakan 4 program jaminan sosial ketenagakerjaan: Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.
Hingga 2019, BP Jamsostek melayani 54,96 juta pekerja yang terdaftar sebagai peserta. Sebanyak 34,17 juta merupakan peserta aktif, atau naik 12,2% dari setahun sebelumnya sebanyak 30,46 juta peserta.
Secara rata-rata, pertumbuhan tahunan pada periode tahun 2015-2019 (compounded annual growth rate/CAGR) jumlah pekerja aktif itu mencapai 15,4%. Per November 2020, jumlah peserta BP Jamsostek mencapai 51,76 juta atau 57,51% dari total sekitar 90 juta pekerja yang memenuhi syarat sebagai peserta BP Jamsostek.
Sebagai catatan, jumlah pekerja tersebut mengecualikan pekerja berstatus aparat sipil negara (ASN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), polisi, dan pekerja yang tidak memenuhi kriteria usia untuk menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan.
![]() |
Terbaru, per November 2020, BP Jamsostek melaporkan dari 51,76 juta jumlah peserta, 39, 65 juta di antaranya merupakan pekerja penerima upah, 8,9 juta pekerja konstruksi, 2,79 juta pekerja non-upah, dan 424.260 pekerja migran.
Efek pandemi yang memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memang memengaruhi tingkat kepesertaan BP Jamsostek, tetapi dengan skala yang terbatas karena penurunan yang terjadi hanya 4,9% secara tahunan. Pada November 2019, jumlah peserta BP Jamsostek 54,45 juta.
Penurunan terbesar terutama terjadi pada jumlah pekerja migran yang dalam setahun anjlok 22,31% dari angka November tahun lalu (546.096 peserta). Demikian juga dengan peserta non-upah-seperti wirausahawan-juga menurun 2,7% dari posisi November 2019 (2,86 juta orang).
Peserta dari pekerja konstruksi tercatat turun 20,26% (dari tahun lalu sebanyak 11,16 juta peserta), dan peserta dari penerima upah-yakni karyawan swasta-melemah tipis hanya 0,58% dari 39,8 juta pada November 2019.
Hal ini menunjukkan bahwa pandemi hanya memukul pekerja migran dan konstruksi, sementara karyawan swasta relatif terjaga dengan hanya 230.000 orang di seluruh Indonesia yang berhenti menjadi peserta (kemungkinan besar karena di-PHK).
Meski total peserta BP Jamsostek turun sekitar 2,7 juta orang (setara -4,9%) per November 2020 akibat pandemi, angka iuran kepesertaan justru masih naik 1,21%, yakni dari Rp 65,52 triliun (per November 2019) menjadi Rp 66,31 triliun (per November kemarin).
Kenaikan tersebut ditopang pekerja formal yang tumbuh 1,33% yang menyumbang 99,28% iuran yang diterima BP Jamsostek, yakni Rp 65,83 triliun. Ini menunjukkan bahwa pemberi kerja masih bisa membayar iuran.
Bahkan, sebagian dari mereka mengiur dengan persentase lebih tinggi (karena mendapat kenaikan gaji), sehingga dana iuran yang diterima BP Jamsostek naik meski jumlah pengiur turun 2,7 juta per November kemarin secara tahunan.
Dari iuran tersebut, sebagian besar dibelanjakan untuk santunan bagi pekerja yang menjadi peserta. Per November 2020, pembayaran klaim BP Jamsostek kepada para stakeholdernya mencapai Rp 30,74 triliun dengan sebanyak 2,4 juta pengajuan klaim.
![]() |
Terlihat bahwa mayoritas pembayaran klaim terjadi pada peserta JHT sebagai program favorit. Ia berfungsi layaknya klaim tunjangan pengangguran di Amerika Serikat (AS) yang memberi dana tunai (lump sum) bagi peserta karena alasan PHK (dan mundur/resign untuk kasus di Indonesia).
Pandemi mendorong lebih banyak pekerja berhenti, sehingga jumlah pengajuan klaim JHT meningkat untuk memenuhi kebutuhan pribadi saat itu juga. Tingginya klaim juga dipicu oleh kemudahan dan kecepatan pengajuan klaim JHT. Saat ini, 60% klaim di BP Jamsostek dilakukan secara online dengan sistem verifikasi daring.
Guna memastikan bahwa pembayaran klaim lancar, BP Jamsostek sebagaimana perusahaan asuransi lainnya juga menginvestasikan dana iuran peserta yang dikelolanya. Menurut data institusi per November, aset investasi yang dikelola BP Jamsostek mencapai Rp 472,9 triliun atau tumbuh 13% secara tahunan, dari November 2019 senilai Rp 418,73 triliun.
Mayoritas, atau 65% dana tersebut (setara Rp 307,38 triliun), diinvestasikan ke surat utang sebagai aset investasi di pasar modal terkonservatif (aman, dengan keuntungan tinggi). Sebanyak Rp 70,9 triliun atau 15% diputar di bursa saham sebagai aset dengan capital gain tertinggi.
Lalu, Rp 52 triliun atau 11% disimpan dalam bentuk deposito sebagai instrumen yang paling tepat untuk menjaga kebutuhan likuiditas jika ada peningkatan klaim. Sebanyak 8% dibelanjakan produk reksa dana dan sisanya sebesar 1% ditanam dalam bentuk properti dan penyertaan modal.
Di tengah pandemi, koreksi yang terjadi di pasar modal justru tidak terjadi pada pengelolaan investasi BP Jamsostek. Buktinya, hasil investasi justru naik 8,07% dari Rp 26,76 triliun pada November tahun lalu menjadi Rp 28,92 triliun November kemarin. Kok bisa?
Baru-baru ini muncul kabar beberapa perusahaan pengelola reksa dana dan asuransi nasional goncang karena salah kelola, misalnya Jiwasraya, ataupun terpukul pandemi. Namun, BP Jamsostek justru adem-adem saja seperti terlihat dari kenaikan hasil investasinya.
Pada November, hasil investasi BP Jamsostek tumbuh lebih tinggi lagi yakni 8,1% menjadi Rp 28,92 triliun. Porsi investasi ke aset berisiko tinggi yakni saham pun naik jadi 15% berkat kenaikan nilai saham yang sudah dibeli, menunjukkan validnya keputusan trading mereka.
Apa rahasianya? Tim Riset CNBC Indonesia menemukannya dalam Pedoman Pengelolaan Investasi BPJS Ketenagakerjaan yang berisi kriteria dan aturan main trading saham. Secara umum, institusi memilih investasi di 45 saham unggulan di indeks LQ45. Jika ingin agresif di luar itu, jumlah saham yang dibeli tetap harus dibatasi.
Per November 2020, sebanyak 98% portofolio saham BP Jamsostek ditempatkan di saham LQ45, sehingga kualitas aset investasinya sangat bagus jika dibandingkan dengan Jiwasraya.
Untuk portofolio JHT dan Jaminan Pensiun (JP), BP Jamsostek hanya membeli maksimal 15 saham non-LQ45. Untuk dana kelolaan dari portofolio Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM), maksimal hanya boleh dibelikan 10 saham non-LQ45.
Itupun dengan catatan: penempatan saham di satu emiten hanya boleh maksimal 5% dari jumlah investasi (per program). Untuk seluruh program, penempatan dana ke saham satu emiten harus di bawah 5% dari saham beredar perusahaan tersebut. Hal ini penting untuk menjaga prinsip diversifikasi aset: jangan menaruh semua telur di satu keranjang!
Lalu untuk menghindari saham gorengan-yang biasanya beroperasi lewat transaksi kecil-BP Jamsostek sengaja memilih trading saham dengan rerata nilai transaksi harian minimal Rp 20 miliar (3 bulan terakhir). Minimal kapitalisasi pasar pun harus sebesar Rp 3 triliun, yang mana sulit untuk digoreng karena bandar bakal perlu dana besar.
Jika hendak membeli saham melalui pasar perdana (initial public offering/IPO), maka BP Jamsostek hanya memilih emiten yang terindikasi bakal memiliki kapitalisasi pasar di atas Rp 3 triliun (dihitung dengan cara mengalikan jumlah saham pada harga penawaran terendah).
Itupun penawaran saham kepada publik (yang akan beredar di pasar) minimal harus 20% dari total saham yang perseroan, tidak termasuk di dalamnya saham yang dialokasikan untuk manajemen dan karyawan.
Teknis pembelian saham pun diatur ketat. Mitra kerja broker untuk main saham harus lulus penilaian scoring internal, dengan indikator kuantitatif (permodalan, likuiditas, rentabilitas dan aktivitas transaksi) dan kualitatif (reputasi baik dalam 3 tahun terakhir, riset kuat, pengalaman minimal 5 tahun, kredibilitas, market update, keamanan eksekusi trading).
Selain senantiasa menerapkan good governance, Direktorat Pengembangan Investasi BP Jamsostek selalu berusaha melakukan efisiensi biaya, seperti biaya transaksi untuk investasi saham, obligasi dan reksadana yang telah diterapkan sejak bulan Maret tahun 2017 silam.
Besaran efisiensi transaksi yang dilakukan mencapai 50%-75%. Efisiensi ini dilakukan karena dana kelolaan yang semakin besar harus diimbangi dengan biaya transaksi yang semakin efisien. Dampak dari efisiensi ini sangat signifikan bagi peningkatan dana peserta.
Dengan modus operandi trading sedetil, se-prudent, dan seefisien itu, tidak mengherankan jika investasi BP Jamsostek terus aman dan bertumbuh, tanpa permasalahan likuiditas, seolah-olah anti-pandemi.
Selama 38 tahun kiprahnya (1977-2015), BP Jamsostek telah mengumpulkan dana kelolaan sekitar Rp 206,58 triliun. Namun selama 2016-November 2020 (sekitar 4 tahun saja), dana kelolaan tersebut melonjak lebih dari 2 kali lipat mencapai Rp 472,9 triliun.
Ingin selamat trading tahun depan? Ikuti cara itu!
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Diminta BPK Cut Loss, BP Jamsostek Mau Jual Rugi 6 Saham Ini?