SWF Jokowi, Saran Nabi Yusuf & Jalan Terbaik Kelarin Utang RI

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
22 December 2020 10:50
Presiden Joko Widodo dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2021
Foto: Presiden Joko Widodo dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2021. (Tangkapan Layar Youtube PerekonomianRI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia saat ini sedang menyiapkan pembentukan dana abadi negara alias Sovereign Wealth Fund (SWF) dengan nama resmi Indonesia Investment Authority (INA).

Bila tak ada aral melintang, lembaga ini akan beroperasi mulai triwulan kedua tahun depan. Lembaga ini dinilai akan menjadi jalan keluar bagi Indonesia dalam menyelesaikan utang negara.

Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, mengatakan Indonesia sangat membutuhkan SWF karena, saat ini Indonesia sudah sangat bergantung dengan utang dengan defisit fiskal yang mencapai yang 6,3%.

Dengan begitu, penting bagi RI untuk mengundang investor asing lewat jalur ekuitas (penyertaan saham) yang ditopang UU Cipta Kerja (Omnibus Law), sehingga diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus menekan utang.

Dalam tulisan terbaru Budi Hikmat bertajuk "Sovereign Wealth Fund:Inisiatif Pengelolaan Asset Untuk Kemakmuran Bangsa," Budi menjelaskan bahwa pemikiran mengenai pengelolaan aset negara ini, sebetulnya sudah jauh ada sejak zaman Nabi Yusuf.

Pada masa itu, Nabi Yusuf memberi saran kepada raja yang kemudian melantiknya sebagai pengelola aset negara, yang akhirnya mampu menyelamatkan Bangsa Mesir dari bencana kelaparan.

Pada dasarnya, kata Budi, ada tiga saran Nabi Yusuf yang dimuat dalam QS 12:47 (Al Quran Surat 12 ayat ke 47), "Hendaklah kalian bercocok tanam selama tujuh tahun secara berkelanjutan. Maka apa yang kalian panen, tetaplah dalam tangkainya. Kecuali sedikit untuk kalian makan".

Menurut Budi, saran ini tidak hanya melandasi konstelasi kebijakan makroekonomi terbaik untuk mengantisipasi krisis namun juga sebagai dasar intertemporal personal investing.

Fokus kebijakan ekonomi bertumpu pada, pertama, sisi produksi terutama melalui penguatan teknologi pertanian guna meningkatkan produktivitas.

Kedua, penguasaan teknologi pascapanen terutama melalui penguatan industri manufaktur agar limpahan panen dalam kualitas terbaik dapat bertahan lama untuk memenangkan pasar ekspor.

Saran terakhir Nabi Yusuf di atas identik dengan pengendalian konsumsi domestik yang memungkinkan limpahan panen dimanfaatkan untuk keberlanjutan produksi selain untuk ekspor.

"Semestinya penerapan saran Nabi Yusuf memampukan Indonesia untuk mengatasi defisit neraca berjalan yang hakikatnya mencerminkan karakter yang kurang produktif, kurang kompetitif selain mau berhemat," kata dia, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (22/12/2020).

Atas dasar itulah, menurutnya, persoalan negara mengelola berbagai aset sumber daya untuk kemakmuran bangsa ini, senafas dengan terminologi modern SWF yang sedang dibentuk oleh pemerintah Joko Widodo (Jokowi).

NEXT: Bagaimana Peluang SWF Saat Banjir Lukuiditas Pascapandemi?

Saat ini, SWF dengan aset terbesar diyakini masih dimiliki oleh Arab Saudi yang sumber dananya berasal dari surplus penerimaan produksi minyak.

Singapura punya Tamasek dan Malaysia dengan Khazanah. Pengelolaan SWF Norwegia dikenal transparan dengan menampilkan posisi nilai aset selain bagaimana pengelolaannya.

Memang betul, lanjut Budi, kebanyakan SWF dimungkinkan oleh surplus neraca transaksi berjalan (current account) yang mulanya disiapkan untuk mengantisipasi semacam krisis moneter Asia 1998

Namun akselerasi globalisasi yang membuka perluasan diversifikasi penempatan aset memungkinkan pengelolaannya memperkuat pundi-pundi kemakmuran suatu bangsa.

Dia menegaskan, Indonesia yang mengalami defisit neraca berjalan sejak berakhirnya super-cycle commodity booming harus lebih kreatif. Model SWF yang dikembangkan Indonesia melalui pengelolaan asset yang ditempatkan sejumlah mitra menjadi relevan menyikapi perkembangan internal dan eksternal.

Dalam laporan Bank Dunia tahun 2014 bertajuk "Indonesia: Avoiding the Trap", Indonesia berisiko tua sebelum kaya (growing old before growing rich) sekira rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam periode 2013-2030 berkisar 6%.

Pemerintah Indonesia telah mengikuti saran Bank Dunia tersebut melalui penguaran infrastruktur dan penguatan sumber daya manusia (closing infrastructure and skill gaps).

Namun polemik perang dagang 2019 dan pandemi Covid-19 2020 tidak hanya memperburuk risiko "tuwir sebelum tajir" 2030 saat penduduk mulai menua.

Dengan dengan PDB per kapita saat ini US$ 4.500 per tahun (setara Rp 63 juta, kurs Rp 14.000/US$), maka untuk mencapai batas bawah pendapatan negara maju US$ 12.000 (setara Rp Rp 168 juta) dibutuhkan pertumbuhan ekonomi 10,3% dalam US$ selama 10 tahun hingga tahun 2030.

Angka ini jelas mustahil diraih dengan berbagai paradigma ekonomi, sosial dan politik saat ini. Sementara upaya mempercepat penyediaan infrastruktur untuk memacu produktivitas dan daya saing telah memperberat kondisi keuangan perusahaan milik negara (BUMN).

"Beban negara bakal bertambah apabila BUMN tersebut jatuh bangkrut meninggalkan infrastruktur yang belum membuahkan hasil," kata pendiri Komunitas Nabi Yusuf ini.

Sejumlah pihak juga mengkritisi lack of integrity, governance and competency factors- yang bila direnungkan seluruhnhya merupakan kualitifikasi Nabi Yusuf -- sebagai penyebab kejatuhan BUMN sehingga menolak ide pembentukan SWF.

Direktur Strategi Investasi Bahana TCW Investment Management ini punya pengalaman, sebagai satu-satunya manajer investasi yang mendapat mandat mengelola dana Asian Bond Fund menunjukkan manfaat, di mana supervisi konsorsium bank sentral sekawasan Asia (EMEAP) sebagai "pihak asing" membantu meningkatkan kualitas dan kinerja pengelolaan.

"Saya sangat mengharapkan ada semacam pertemuan terbuka di mana para ahli dapat bertemu dan berdiskusi secara kritis untuk mengawal pembentukan dan pengelolaan SWF ini," bebernya.

Limited Deposit Creation/Budi HikmatFoto: Limited Deposit Creation/Budi Hikmat
Limited Deposit Creation/Budi Hikmat

Di sisi lain, secara eksternal, dunia pascapandemi Covid-19 dibanjiri oleh limpahan likuiditas yang luar biasa.

Kelebihan likuiditas yang tercermin pada rendahnya suku bunga diyakini akan memicu asset reflation selalui pelemahan dolar AS.

Konflik geo-politik dan antisipasi berulangnya pandemik memicu perubahan strategi bisnis dan jalur pasokan (supply chain).

"Indonesia yang memiliki growing middle class dan sumber daya alam yang melimpah dipandang memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari sistem supply chain baru."

Dia menilai, persaingan global yang semakin sengit membuat upaya menarik investor asing semakin berat.

"Kita dapat belajar dari pengalaman Vietnam yang kini menikmati surplus perdagangan terhadap Amerika Serikat sekitar lima kali lipat lebih besar dibanding Indonesia dan bertumbuh jauh lebih pesat menyusul polemil perang dagang.

Dengan surplus neraca berjalan 5% PDB, rasio dana pihak ketiga terhadap PDB di Vietnam terus melonjak hingga melewati Malaysia. Limpahan dana tersebut memungkinkan suku bunga yang lebih rendah untuk memacu pembiayaan bisnis agar derap perekonomian dan kemakmuran lebih gegas.

Defisit AS/Budi HikmatFoto: Defisit AS/Budi Hikmat
Defisit AS/Budi Hikmat
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular