
Bea Materai Rp 10.000 di Bursa? Duh...Bak 'Siksa Neraka' Gan!

Well, salah satu alasan para investor tertarik bertransaksi di pasar saham dibandingkan dengan instrumen investasi lain adalah biaya bertransaksi di pasar modal yang tergolong murah.
Sebagai contoh apabila anda membeli emas Antam ukuran 25 gram di harga Rp 914.480/gram dan dikenakan pajak pembelian 0,45%.
Namun tiba-tiba anda berubah pikiran dan segera menjualnya kembali maka pihak Antam akan membeli emas anda di harga buyback sebesar Rp 854.000/gram dan dikenakan pajak penjualan 1,5%.
Maka kerugian yang anda peroleh adalah sebesar Rp 51.785/gram, atau sebesar 5,66% dari harga pembelian awal yang menunjukkan adanya biaya bertransaksi yang cukup besar sehingga para investor tentunya tidak tertarik untuk memperjualbelikan emas Antam fisik dalam jangka pendek.
Bayangkan saja untuk break even alias balik modal saja harga emas Antam harus terapresiasi terlebih dahulu sebesar biaya bertransaksi tersebut yakni 5,66%, sehingga tentunya emas Antam lebih cocok untuk para investor jangka panjang.
Beralih ke instrumen investasi saham, apabila anda melakukan pembelian saham maka total biaya yang akan dikenakan secara rata-rata di sekuritas-sekuritas adalah sebesar 0,15% untuk transaksi beli dan 0,25% untuk transaksi jual.
Biaya ini sudah termasuk broker fee, biaya transaksi BEI (0,018%), biaya kliring KPEI (0,009%), biaya penyelesaian KSEI (0,003%), dana jaminan KPEI (0,01%), PPN (0,003%), dan apabila anda melakukan transaksi jual akan dikenakan pajak penjualan (0,1%).
Dengan demikian, biaya bertransaksi di bursa saham tergolong sangat kecil yakni total hanya sekitar 0,40% untuk transaksi pembelian dan penjualan, sehingga instrumen ini sangat cocok untuk ditransaksikan baik dalam jangka sangat pendek (day trading) maupun untuk investasi jangka panjang.
Rendahnya biaya transaksi di pasar modal akan melonjak drastis apabila DJPP menerapkan materai Rp 10.000/TC. Memang apabila anda bertransaksi dalam jumlah besar maka bea materai Rp 10.000 tidak akan terasa.
Akan tetapi regulator perlu mengingat bahwa jumlah tambahan investor yang naik pada tahun pandemi ini mencerminkan satu hal yakni banyaknya investor baru dan pemula di pasar modal dan tentunya investor baru dan pemula ini jarang ada yang berani bertransaksi dalam jumlah besar karena baru mulai mengenal pasar modal.
Jumlah transaksi yang tergolong mini ini sendiri nantinya akan ditranslasikan menjadi lonjakan biaya bertransaksi yang amat sangat tajam.
Bayangkan apabila seorang investor ritel ingin berinvestasi di saham PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) di harga Rp 284/unit dimana saham ini merupakan salah satu saham unggulan yang menjadi konstituen indeks acuan LQ45 maka biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 38.442/lot atau Rp 384,42/unit.
Ini artinya apabila sang investor pada perdagangan hari itu hanya bertransaksi di 1 lot saham SRIL saja maka biaya transaksi beli akan loncat dari 0,15% menjadi 35,36% dari harga saham tersebut.
(tas/tas)