Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian berencana menerapkan pengenaan bea materai dalam setiap Trade Confirmation (TC) surat berharga yang ditransaksikan di bursa.
Artinya, setiap transaksi saham, obligasi dan surat utang lainnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan dikenakan biaya sebesar Rp 10.000.
Aturan ini sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Beban bea materai ini diberikan kepada investor tanpa batasan nilai nominal transaksi.
Tentu saja peraturan baru yang kontroversial ini ditargetkan untuk meningkatkan pendapatan negara yang tentunya membutuhkan dana segar di tengah pandemi corona.
Namun dalam sanggahannya pada Sabtu pekan lalu, ketika ramai-ramai publiknmenolak bea materai untuk transaksi saham, DJP pun akhirnya angkat suara.
DJP menegaskan saat ini masih menyusun peraturan pelaksanaan atas UU Bea Meterai tersebut.
"Pengenaan Bea Meterai akan dilakukan terhadap dokumen dengan mempertimbangkan batasan kewajaran nilai yang tercantum dalam dokumen dan memperhatikan kemampuan masyarakat," tulis DJP dalam keterangan resminya diterima CNBC Indonesia, Sabtu (19/12/2020).
Namun demikian, terbuka opsi untuk memberikan fasilitas pembebasan Bea Meterai jika adanya upaya untuk mendorong atau melaksanakan program pemerintah dan/atau kebijakan lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan.
"DJP sedang berkoordinasi dengan otoritas moneter dan pelaku usaha untuk merumuskan kebijakan tersebut," ujar DJP lagi.
Seperti diberitakan sebelumnya oleh BEI, kebijakan ini disebutkan akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2021 mendatang.
Lantas bagaimana kalau benar-benar disepakati oleh pemerintah?
Bayangkan saja setiap harinya rata-rata terdapat 85.000 SID yang bertransaksi di bursa saham.
Ini artinya per harinya minimal sekuritas akan menerbitkan 85.000 TC, sehingga potensi pendapatan yang diraup negara mencapai Rp 850 juta per hari.
Akan tetapi apakah kebijakan ini akan efektif meningkatkan pendapatan negara?
Atau malah kebijakan ini malah akan kontraproduktif dan menghasilkan blunder karena investor ritel menjadi enggan bertransaksi di bursa lokal dan membunuh pertumbuhan investor ritel yang sedang menanjak di era pandemi?
Berikut kajian Tim Riset CNBC Indonesia.
Well, salah satu alasan para investor tertarik bertransaksi di pasar saham dibandingkan dengan instrumen investasi lain adalah biaya bertransaksi di pasar modal yang tergolong murah.
Sebagai contoh apabila anda membeli emas Antam ukuran 25 gram di harga Rp 914.480/gram dan dikenakan pajak pembelian 0,45%.
Namun tiba-tiba anda berubah pikiran dan segera menjualnya kembali maka pihak Antam akan membeli emas anda di harga buyback sebesar Rp 854.000/gram dan dikenakan pajak penjualan 1,5%.
Maka kerugian yang anda peroleh adalah sebesar Rp 51.785/gram, atau sebesar 5,66% dari harga pembelian awal yang menunjukkan adanya biaya bertransaksi yang cukup besar sehingga para investor tentunya tidak tertarik untuk memperjualbelikan emas Antam fisik dalam jangka pendek.
Bayangkan saja untuk break even alias balik modal saja harga emas Antam harus terapresiasi terlebih dahulu sebesar biaya bertransaksi tersebut yakni 5,66%, sehingga tentunya emas Antam lebih cocok untuk para investor jangka panjang.
Beralih ke instrumen investasi saham, apabila anda melakukan pembelian saham maka total biaya yang akan dikenakan secara rata-rata di sekuritas-sekuritas adalah sebesar 0,15% untuk transaksi beli dan 0,25% untuk transaksi jual.
Biaya ini sudah termasuk broker fee, biaya transaksi BEI (0,018%), biaya kliring KPEI (0,009%), biaya penyelesaian KSEI (0,003%), dana jaminan KPEI (0,01%), PPN (0,003%), dan apabila anda melakukan transaksi jual akan dikenakan pajak penjualan (0,1%).
Dengan demikian, biaya bertransaksi di bursa saham tergolong sangat kecil yakni total hanya sekitar 0,40% untuk transaksi pembelian dan penjualan, sehingga instrumen ini sangat cocok untuk ditransaksikan baik dalam jangka sangat pendek (day trading) maupun untuk investasi jangka panjang.
Rendahnya biaya transaksi di pasar modal akan melonjak drastis apabila DJPP menerapkan materai Rp 10.000/TC. Memang apabila anda bertransaksi dalam jumlah besar maka bea materai Rp 10.000 tidak akan terasa.
Akan tetapi regulator perlu mengingat bahwa jumlah tambahan investor yang naik pada tahun pandemi ini mencerminkan satu hal yakni banyaknya investor baru dan pemula di pasar modal dan tentunya investor baru dan pemula ini jarang ada yang berani bertransaksi dalam jumlah besar karena baru mulai mengenal pasar modal.
Jumlah transaksi yang tergolong mini ini sendiri nantinya akan ditranslasikan menjadi lonjakan biaya bertransaksi yang amat sangat tajam.
Bayangkan apabila seorang investor ritel ingin berinvestasi di saham PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) di harga Rp 284/unit dimana saham ini merupakan salah satu saham unggulan yang menjadi konstituen indeks acuan LQ45 maka biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 38.442/lot atau Rp 384,42/unit.
Ini artinya apabila sang investor pada perdagangan hari itu hanya bertransaksi di 1 lot saham SRIL saja maka biaya transaksi beli akan loncat dari 0,15% menjadi 35,36% dari harga saham tersebut.
Apabila nantinya sang investor ingin menjual sahamnya di hari yang berbeda, maka akan dikenakan lagi bea materai sebesar Rp 10.000/TC sehingga total biaya bertransaksi di pasar modal melonjak dari 0,40% menjadi 70,82% atau kenaikan sebesar 177 kali lipat. Angka ini sendiri menunjukkan biaya bertransaksi di pasar modal nominalnya hampir sama dengan nilai saham tersebut.
Skenario ini sendiri bukanlah skenario yang jarang terjadi di pasar modal mengingat tagline alias jargon BEI untuk menarik investor ritel adalah Yuk Nabung Saham sehingga banyak investor ritel yang tertarik menabung saham dalam jumlah yang kecil dengan frekuensi harian.
Teknik pembelian ini sendiri lebih dikenal dengan sebutan dollar averaging cost atau istilah lokalnya investor selot-selot, dimana sang investor melakukan pembelian di berberapa rentang harga dengan nominal kecil untuk mengurangi resiko depresiasi harga ketika melakukan pembelian saham secara lump-sum.
Memang investor kecil bisa bermanuver dengan cara meningkatkan jumlah serta menurunkan frekuensi pembelian menjadi seminggu atau bahkan sebulan. Akan tetapi seperti disebutkan di atas resiko depresiasi harga akan meningkat apabila sang investor melakukan pembelian di satu harga dalam jumlah besar.
Bahkan apabila pembelian dilakukan secara mingguan pun biaya bertransaksi akan tetap tergolong tinggi yakni 14,48% dari harga saham sedangkan apabila transaksi dipecah menjadi sebulan sekali biaya transaksi juga tetaplah mahal di angka 3,92%.
Sehingga bukan tidak mungkin apabila nantinya jika aturan ini berlaku maka investor ritel akan menjadi ogah sama sekali untuk bertransaksi di bursa saham sehingga terjadi penurunan transaksi bursa dan malah menjadi blunder karena dengan penurunan total transaksi maka komponen pajak yang menjadi pendapatan pemerintah juga akan anjlok.
Selain itu tidak hanya investor ritel pemula yang dirugikan dari kebijakan ini, investor ritel kawakan juga berpotensi merugi di berberapa skenario tertentu. Seperti apabila ketika sang investor 'tersangkut' di saham yang kurang likuid dimana papan bid atau permintaan saham cenderung kosong.
Dalam skenario ini sang investor terpaksa memasang jual antrian sahamnya setiap harinya dan berharap ada investor yang melakukan pembelian. Dalam kasus ini bukan tidak mungkin sang investor hanya akan mampu menjual 1 atau 2 lot saham setiap harinya sehingga apabila tidak terdapat transaksi lain di hari itu maka biaya bertransaksi akan membengkak.
Apalagi mengingat dengan adanya bea materai ini, persepsi masyarakat bahwa pasar saham hanya untuk orang kaya saja akan muncul kembali karena anda akan lebih diuntungkan apabila memiliki dana jumbo dibandingkan apabila anda hanya bertransaksi kecil-kecilan saja.
Jadi bagaimana DJPP apakah anda ingin membantu menyukseskan program Yuk Nabung Saham milik BEI atau membuat kenaikan investor ritel pasar modal menjadi sumber dana segar baru? Bola panas di tangan anda!
TIM RISET CNBC INDONESIA