Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,14% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.090/US$ pada perdagangan Selasa (15/12/2020).
Pemerintah memutuskan untuk melarang kerumunan dan perayaan tahun baru di tempat umum, serta Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta yang kemungkinan diketatkan lagi membuat rupiah terpukul.
Padahal, rupiah sebenarnya punya peluang untuk menguat kembali ke level Rp 13.000an/US$ sebelum akhir tahun ini. Sebab, aksi jual dolar AS semakin membesar.
Kasus Covid-19 dari dalam negeri saat ini sedang tinggi-tingginya. Kemarin, jumlah kasus baru tercatat sebanyak 5.489 orang, tetapi sebelumnya dalam 5 hari beruntun selalu di atas 6.000 kasus.
Pada Kamis (3/12/2020) kasus Covid-19 mencatat rekor penambahan 8.369 kasus.
Alhasil, kasus aktif virus corona (Covid-19) terus mengalami tren kenaikan dan menciptakan rekor baru selama 14 hari beruntun. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena keterbatasan jumlah rumah sakit dan tenaga kesehatan. Hingga Senin kemarin, kasus aktif Covid-19 di Indonesia mencapai 93.396 orang.
Guna meredam peningkatan kasus tersebut pemerintah memutuskan untuk melarang kerumunan dan perayaan tahun baru di tempat umum.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Koordinasi Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim dan Bali secara virtual di Kantor Maritim pada Hari Senin (14-12-2020) yang dipimpin oleh Menko Marves Luhut B. Pandjaitan. Dia meminta agar implementasi pengetatan ini dapat dimulai pada tanggal 18 Desember 2020 hingga 8 Januari 2021.
Selain itu Luhut juga memerintahkan Gubernur Anies Baswedan untuk kembali memperketat Pembatasan Sosial Berskala Besar di DKI Jakarta.
Lebih rinci, Luhut meminta kepada Anies Baswedan untuk mengetatkan kebijakan bekerja dari rumah (work from home) hingga 75%. "Saya juga minta Pak Gubernur untuk meneruskan kebijakan membatasi jam operasional hingga pukul 19:00 dan membatasi jumlah orang berkumpul di tempat makan, mall, dan tempat hiburan," pintanya.
Dengan kebijakan pelarangan party saat tahun baru serta kemungkinan diketatkannya PSBB DKI Jakarta, tingkat konsumsi masyarakat, yang merupakan komponen utama pembentukan produk domestik bruto (PDB), berisiko tertekan di penghujung tahun ini.
Alhasil, perekonomian Indonesia akan sulit bangkit dari resesi. Rupiah pun kemungkinan gagal menembus ke bawah Rp 14.000/US$.
Dolar AS terpuruk. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS saat ini berada di level terlemah dalam lebih dari 2,5 tahun terakhir. Indeks dolar AS kemarin turun 0,3%, sementara sepanjang tahun ini atau secara year-to-date merosot nyaris 6%.
Memburuknya kinerja dolar AS tersebut sejalan dengan aksi jual yang semakin membesar. Berdasarkan kalkulasi Reuters dan Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang dirilis Jumat (11/12/2020), nilai jual bersih (net short) dolar AS dalam sepekan yang berakhir 8 Desember mencapai US$ 29,02 miliar, naik dari pekan sebelumnya US$ 25,74 miliar.
Posisi net sell tersebut sudah mengalami kenaikan dalam 3 pekan beruntun.
Melansir Reuters, para pelaku pasar melakukan aksi jual sebab percaya perekonomian global akan bangkit, apalagi dengan adanya vaksin virus corona.
Selain itu, stimulus moneter dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) serta stimulus fiskal dari pemerintah di Washington membuat para spekulator mulai melakukan aksi jual dolar AS sejak 9 bulan yang lalu.
Kemerosotan dolar AS sepertinya masih belum berakhir, banyak analis yang memprediksi penurunan masih akan berlanjut hingga tahun depan.
"Kami memperkirakan dolar AS akan melemah sekitar 5% hingga 10% di tahun 2021 karena The Fed (bank sentral AS) membiarkan perekonomian AS melesat," kata kepala ekonom ING, Carsten Brzeski, dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Kamis (3/12/2020).
Maksud pernyataan tersebut adalah The Fed akan tetap mempertahankan suku bunga tetap rendah, meski perekonomian AS melesat dan inflasi naik cukup tajam. Memang bank sentral pimpinan Jerome Powell tersebut sebelumnya mengatakan suku bunga < 0,25% akan dipertahankan hingga tahun 2023.
Indeks dolar AS sebenarnya sempat melesat hingga nyaris 7% YtD ke 102,99 pada 20 Maret lalu akibat aksi jual masif di aset berisiko (saham) dan aset aman atau safe haven (emas) hingga muncul istilah "cash is the king". Namun, bukan sembarang cash, melainkan dolar AS.
Hal tersebut terjadi setelah virus corona menyerang dunia dan dinyatakan sebagai pandemi.
Tetapi setelahnya, The Fed bertindak guna menyelamatkan perekonomian AS dengan membabat habis suku bunga acuannya menjadi < 0,25%, serta memberikan stimulus moneter lainnya dengan melakukan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas. Artinya berapa pun nilainya akan dilakukan selama dibutuhkan perekonomian AS.
Alhasil, dolar AS berbalik merosot.
"Tidak ada keraguan kebijakan The Fed sukses membuat dolar AS merosot sejak musim semi tahun ini," kata Jane Foley, ahli strategi di Rabobank, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (4/12/2020).
Tekanan bagi dolar AS bertambah besar setelah pemerintah Washington menggelontorkan stimulus fiskal dengan nilai fantastis, US$ 2 triliun pada bulan Maret lalu. Dalam perjalanannya, nilai stimulus tersebut bertambah menjadi nyaris US$ 3 triliun.
Stimulus fiskal jilid II kini masih dibahas oleh pemerintah AS, sementara The Fed juga berpeluang menambah nilai QE, sehingga jumlah uang yang bereda di perekonomian akan bertambah. Secara teori nilai dolar AS akan melemah.
Sementara itu hasil survei terbaru dari Reuters terhadap 72 analis menunjukkan, sebanyak 39% memprediksi dolar AS akan melemah hingga 2 tahun ke depan. Persentase tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan prediksi lainnya.
 Foto: Reuters |
Sebanyak 10% bahkan memperkirakan dolar AS masih akan melemah lebih dari 2 tahun ke depan.15% melihat pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung kurang dari 3 bulan dan setelahnya mulai bangkit. 14% meramal pelemahan berlangsung kurang dari 6 bulan, dan 22% lainnya kurang dari 1 tahun.
TIM RISET CNBC INDONESIA