
Sunarso Raih The Best CEO in Banking Transformation 2020

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) Sunarso meraih CNBC Indonesia Award 2020 dalam kategori The Best CEO in Banking Transformation 2020.
Apresiasi dari CNBC Indonesia ini diterima secara langsung oleh Sunarso pada malam Penganugerahan CNBC Indonesia Award 2020 bertema "Menyongsong Bangkitnya Ekonomi Indonesia 2021" di Auditorium Menara Bank Mega Jakarta Selatan pada Kamis, (10/12/2020).
Dalam kajian dari Tim Riset CNBC Indonesia, memimpin bank terbesar nasional tidak lantas membuat Sunarso selaku Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk terlena.
Sebaliknya, benaknya dipenuhi kegelisahan, yang mendorongnya melakukan kerja besar transformasi di bank BUMN tersebut.
Semua orang tahu bahwa BRI merupakan bank terbesar dari sisi aset, laba bersih, hingga jaringan nasional. BRI saat ini didukung lebih dari 9.600 unit kerja di seluruh Indonesia, 467 kantor cabang, 611 Kantor Cabang Pembantu, 952 kantor kas dan 5.382 BRI Unit.
Belum lagi jika bicara 2.049 teras BRI, 422.160 Agen BRILink, mesin electronic data capture (EDC) di seluruh Indonesia serta Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang melayani125 juta nasabah. Belum lagi jika bicara satelit, yang menempatkan BRI sebagai satu-satunya bank yang emmiliki dan mengoperasikan satelit.
Tak pelak lagi, BRI bisa dibilang sebagai lembaga keuangan mikro terbesar dan tercanggih di dunia. Lihat saja fakta capaian keuangannya yang teratas dari berbagai sisi. Ini menciptakan keunggulan kompetitif dibandingkan dengan para pesaingnya.
Namun di balik kebesaran BRI tersebut, Sunarso melihat ada risiko yang tak terlihat, dan berpotensi membawa BRI bernasib seperti raksasa-raksasa di Fortune 500 yang bergelimpangan terjatuh dari posisi puncak. Risiko tersebut adalah keterlambatan bertransformasi di era digital.
Hal ini sesuai dengan temuan Accenture yang menunjukkan bahwa 52% perusahaan papan atas dunia yang bercokol di Fortune 500 ternyata menghilang, baik karena bangkrut, diakuisisi, atau terdepak (oleh perusahaan digital).
Sementara itu, menurut catatan Capgemini Consulting, umur perusahaan yang berada di S&P 500 pun memendek. Pada tahun 1980 rata-rata perusahaan yang menjadi konsttuen Indeks Harga Saham Gabungan (HSG)-nya AS tersebut adalah 25 tahun. Namun pada tahun 2001, umurnya memendek menjadi 18 tahun karena raksasa-raksasa baru digital merangsek, mendisrupsi.
Lihat saja Facebook yang hanya butuh waktu 9 tahun untuk meloncat dan menggusur raksasa-raksasa yang sudah lebih dahulu ada di Fortune 500. Dan kini, posisi lima besar emiten berkapitalisasi pasar terbesar di AS dihuni oleh perusahaan teknologi digital: Apple, Microsoft, Alphabet, Amazon, dan Facebook.
Sunarso, yang berkiprah di BRI sejak 2015 ini mengerti bahwa BRI bakal menghadapi nasib serupa jika gagal menghadapi tantangan digital. Segala keunggulan aset, laba bersih, dan kantor cabang bakal sia-sia karena disrupsi digital. Ambil contoh Airbnb yang tak memiliki satupun aset hotel bisa menyediakan layanan penginapan di 191 negara, sementara jaringan hotel Hilton yang beroperasi sejak 1919 hanya mampu menyediakan layanan kamar di 104 negara.
Tak Sekadar Belanja Infrastruktur Digital
Di bawah kepemimpinan Sunarso, BRI menyematkan visi "The Most Valuable Bank in South East Asia and Home to The Best Talent." Visi tersebut diterjemahkan sebagai upaya untuk menjadikan BRI tetap relevan dan menjadi perusahaan yang berkelanjutan bagi stakeholdernya.
Agar tetap relevan, maka transformasi pun dibutuhkan dan bukan hanya berubah. Dalam berbagai kesempatan, pria kelahiran 7 November 1963 ini menegaskan bahwa transformasi itu ibarat ulat yang menjelma menjadi kupu-kupu. Tidak sekadar berubah, melainkan perubahan yang terjadi bersifat menyeluruh sehingga sang obyek tak bisa dikembalikan ke bentuk awal.
Artinya, perubahan yang terjadi tidaklah sekadar di tataran permukaan, melainkan hingga ke dalam diri (karakter dan mentalitas) pelaku transformasi. Oleh karena itu, bag Sunarso, go digital tidaklah cukup dengan membeli dan mengoperasikan teknologi digital terbaru. Ia harus menyentuh aspek manusia, selaku the man behind the gun.
Sunarso membidik tiga sasaran transformasi digital di BRI, yakni proses operasional (mendigitalkan jasa dan sistem transaksi di dapur BRI), platform layanan (membangun ekosistem digital), dan model bisnis (menyediakan produk dan layanan digital ke nasabah).
Dengan transformasi tersebut, BRI kini menyediakan layanan berbasis digital yang jauh lebih mendalam dan juga luas. Perseroan kini memiliki BRImo yang merupakan layanan mobile banking bagi nasabah, digital lending yang memungkinkan pemrosesan kredit dalam 10 menit, dan digital saving yang memberi layanan pembukaan rekening digital (tanpa tatap muka).
Arah yang dituju pun jelas, yakni membuat BRI menjadi lebih cepat (go faster) melayani, lebih jauh penetrasinya (go smaller), dan menawarkan tenor yang lebih pendek (go shorter). Dengan go smaller, BRI tengah menyasar pasar ultra mikro yang belum digarap oleh bank manapun dan kini tengah disasar perusahaan fintech keuangan.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inovasi Digital, Strategi BRI Jaga Kinerja Kredit Konsumer