
Harga CPO Goyang, Setelah Melesat di Atas RM 3.400/ton

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas minyak sawit mentah (CPO) Negeri Jiran melesat tajam ke level tertinggi delapan setengah tahun di akhir pekan lalu. Namun di awal pekan ini Senin (7/12/2020), harga minyak kontrak minyak nabati tersebut mengalami koreksi.
Harga CPO kontrak pengiriman Februari 2021 di Bursa Malaysia Derivatif Exchange turun 12 ringgit atau terkoreksi 0,35% dibanding posisi penutupan akhir pekan lalu ke level RM 3.425/ton pada 10.00 WIB.
Maklum harga yang sudah melesat tajam memang rawan mengalami koreksi, apalagi jika dibarengi dengan aksi ambil untung para trader.
Namun melesatnya harga CPO kembali ke level di atas RM 3.400/ton tak terlepas dari prospek pasokan yang ketat terutama akibat penurunan produksi minyak sawit di negara produsennya yaitu Malaysia.
Survei yang dilakukan Reuters memprediksi produksi minyak sawit Malaysia bulan November bakal anjlok 10% menjadi 1,55 juta ton dan menyentuh level terendah dalam delapan bulan terakhir.
Sementara dari sisi stok, persediaan minyak sawit akan mengalami penurunan sebesar 2% dari bulan sebelumnya menjadi 1,54 juta ton. Penurunan stok juga diakibatkan oleh penurunan produksinya.
Menurut analis papan atas komoditas CPO Dorab Mistry, produksi minyak sawit Malaysia diperkirakan mencapai 19,2 juta ton dengan produksi di bulan Desember berada di level terendah sebanyak 1,4 juta ton.
Prospek cuaca berupa curah hujan yang tinggi akibat fenomena iklim La Nina, faktor musiman dengan tingkat produksi yang rendah hingga kurangnya tenaga kerja di sektor perkebunan sawit di Malaysia membuat output berpotensi lebih rendah.
Namun harga CPO yang sudah melesat tajam juga berpotensi menyebabkan konsumen pindah ke lain hati. Tentu saja hal ini perlu diwaspadai. Apalagi bagi RI yang merupakan produsen terbesar minyak sawit di dunia yang bakal menerapkan tarif pungutan ekspor sawit terbaru.
Pemerintah kini menyesuaikan tarif pungutan CPO berdasarkan batasan lapisan nilai harga yang mengacu pada harga referensi yang ditetapkan Menteri Perdagangan.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan.
Peraturan tersebut berlaku mulai 10 Desember mendatang. Dalam peraturan baru ini, tarif pungutan ekspor CPO minimal sebesar US$ 55 per ton dan paling tinggi US$ 255 per ton.
Tarif pungutan US$ 55 per ton dengan asumsi harga CPO berada di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton. Setiap harga CPO naik US$ 25, maka pungutan naik US$ 5 per ton. Bila harga CPO di atas US$ 995 per ton, maka tarif pungutan ekspor mencapai US$ 255 per ton.
Kenaikan pungutan ekspor sawit ini berpotensi punya dampak pada permintaan tahun depan terutama bagi India sebagai importir terbesar yang sangat sensitif terhadap harga.
"India adalah pasar yang sangat sensitif terhadap harga, harga tinggi saat ini kemungkinan besar akan mengurangi permintaan lebih lanjut," kata Mehta dalam konferensi virtual, Kamis.
Pungutan yang lebih tinggi juga tidak disambut baik oleh petani kecil. Para petani mengatakan bahwa kebijakan ini hanya akan menguntungkan produsen minyak yang lebih besar yang memasok bahan baku biodiesel Indonesia.
"Kebijakan ini salah arah," kata Mansuetus Darto, sekjen asosiasi petani kecil Indonesia kepada Reuters. "Mereka hanya ingin mengejar target naik ke B40 dan merugikan petani kecil." tambahnya.
Terlepas dari itu semua, harga CPO memang sudah naik tinggi sekali. Reli tak terbendung sudah terjadi sejak awal Mei lalu. Tidak menutup kemungkinan harga CPO bisa ambles dalam waktu dekat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
Next Article Ada Kabar Bahagia Sawit dari Swiss, Cuan buat CPO RI