Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Kombinasi ambil untung (profit taking) dan kekhawatiran terhadap lonjakan kasus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) menjadi beban berat bagi langkah mata uang Tanah Air.
Pada Selasa (1/12/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.080 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah menguat tipis 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun tidak lama kemudian rupiah masuk zona merah. Pada pukul 09:15 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.100 di mana rupiah melemah 0,07%.
Kemarin, rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,14% di hadapan dolar AS. Ini adalah depresiasi pertama setelah mata uang Ibu Pertiwi menguat dalam tiga hari perdagangan beruntun.
Ya, rupiah memang perkasa akhir-akhir ini. Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat 3,64% terhadap dolar AS secara point-to-point. Sejak awal kuartal IV-2020, penguatan rupiah mencapai 5,05%.
Penguatan rupiah yang sudah begitu tajam membuat dolar AS menjadi 'murah'. Ini membuat mata uang Negeri Paman Sam menjadi menarik sehingga diborong oleh investor. Akibatnya, rupiah pun terdampar ke zona merah.
Selain itu, investor juga cemas terhadap pandemi virus corona di Indonesia. Per 30 November 2020, jumlah pasien positif corona di Indonesia mencapai 538.883 orang. Bertambah 4.617 orang (0,86%) dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Pada 29 November 2020, penambahan pasien positif mencapai 6.267 orang. Ini adalah rekor tertinggi sejak virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu mewabah di Indonesia.
Dalam 14 hari terakhir (17-30 November 2020), rata-rata penambahan pasien baru adalah 4.874 orang per hari. Melonjak dibandingkan hari sebelumnya yang rata-rata 3.946 orang per hari.
Investor (dan masyarakat) khawatir bahwa lonjakan kasus ini dapat mendorong pemerintah kembali mengetatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sudah terbukti bahwa pengetatan PSBB di Jakarta pada September-Oktober 2020 membuat berbagai indikator melorot. Purchasing Managers' Index (PMI), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), sampai penjualan ritel terkoreksi.
Pada November 2020, IHS Markit melaporkan PMI manufaktur Indonesia berada di 50,6. Naik hampir tiga poin dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar 47,8.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Kalau di atas 50, artinya dunia usaha memasuki fase ekspansi.
"Seiring dengan relaksasi PSBB di Jakarta pada pertengahan Oktober, perusahaan menggenjot produksi pada bulan lalu. Peningkatan output mencapai titik tertinggi sejak survei PMI Indonesia dilakukan pada 9,5 tahun lalu," sebut keterangan resmi IHS Markit.
Perbaikan ini bisa jadi tidak berlanjut kalau sampai pemerintah mengetatkan PSBB. Ekonomi akan kembali mati suri, pengangguran bertambah, jumlah penduduk miskin membuncah.
Aksi ambil untung plus kekhawatiran akan pandemi virus corona yang bisa berujung ke pengetatan PSBB inilah yang membuat investor masih pikir-pikir untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Minimnya arus modal membuat rupiah tidak punya pijakan untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA