Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat 0,14% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.130/US$ pada perdagangan hari ini, Senin (23/11/2020). Rupiah juga belum pernah melemah dalam 8 pekan terakhir, rinciannya menguat 7 pekan beruntun, dan minggu lalu stagnan.
Selama 8 pekan tersebut, rupiah membukukan penguatan 4,7%, dan berada di level terkuat sejak pertengahan Juni lalu. Penguatan tajam sebenarnya terjadi di pekan pertama bulan November, setelah pemilihan presiden (pilpres) AS usai, dan dimenangkan oleh Joseph 'Joe' Biden.
Kemenangan Biden disebut menguntungkan bagi negara-negara emerging market seperti rupiah, sebab perang dagang AS-China kemungkinan akan berakhir atau setidaknya tidak lebih buruk dari saat ini. Selain itu, stimulus fiskal yang digelontorkan juga akan lebih besar ketimbang yang akan digelontorkan oleh petahana Donald Trump.
Alhasil, sentimen pelaku pasar membaik, dan mengalirkan modalnya ke negara emerging market seperti Indonesia, yang membuat rupiah perkasa.
Terbukti, berdasarkan rilis Perkembangan Indikator Stabilitas Nilai Rupiah, data transaksi 2-5 November 2020, menunjukkan nonresiden di pasar keuangan domestik beli neto Rp3,81 triliun, dengan beli neto di pasar SBN sebesar Rp3,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 60 miliar. Sementara data transaksi 9 -12 November 2020, menunjukkan beli neto Rp7,18 triliun, dengan beli neto di pasar SBN sebesar Rp 4,71 triliun dan beli neto di pasar saham sebesar Rp 2,47 triliun.
Selain pilpres AS, perkembangan vaksin virus corona juga membuat sentimen pelaku pasar semakin membaik. Perusahaan farmasi asal AS, Pfizer dan Moderna, mengklaim vaksin buatannya efektif menangkal virus corona lebih dari 90%.
Sepanjang pekan lalu, aliran modal juga masih deras ke dalam negeri, di pasar saham investor asing melakukan aksi net buy sebesar Rp 435,09 miliar di pasar reguler, dan berlanjut hari ini nyaris Rp 300 miliar.
Melihat masih mengalirnya investasi ke dalam negeri, rupiah tentunya berpeluang melanjutkan penguatan lagi di pekan ini, meski perlu tenaga ekstra untuk bisa kembali ke bawah Rp 14.000/US$.
Sementara itu dari dalam negeri pada pekan lalu, Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 3,75%.
Penurunan suku bunga sebenarnya berdampak negatif bagi rupiah, sebab jumlah uang yang beredar berpotensi bertambah. Selain itu, imbal hasil (investasi) di Indonesia menjadi menurun, sehingga ada risiko aliran modal asing tersendat.
Tetapi, BI juga memperkirakan inflasi di tahun ini akan rendah di bawah 2%, sehingga real return berinvestasi di dalam negeri masih akan relatif tinggi, dan masih cukup menarik bagi investor asing.
BI pekan lalu juga melaporkan transaksi berjalan (current account) yang mencatat surplus untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir. Surplus transaksi berjalan tersebut dapat memberikan dampak positif bagi stabilitas nilai tukar rupiah.
Pada kuartal III-2020, transaksi berjalan (current account) mencatat surplus sebesar US$ 1 miliar atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.
Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money di pos transaksi modal dan finansial (komponen NPI lainnya) sehingga diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.
Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat.
Kini dengan "hantu" CAD yang diperkirakan pergi dari Indonesia untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir, akan menjadi modal rupiah untuk menguat di sisa tahun ini.
Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR meski melemah cukup tajam tetapi masih jauh di bawah rerata pergerakan 50 hari (moving average/MA 50), 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200), sehingga memberikan momentum penguatan.
Sementara itu, indikator stochastic pada grafik harian berada di wilayah jenuh jual (oversold).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
 Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian Foto: Refinitiv |
Artinya ada risiko rupiah akan terkoreksi akibat aksi ambil untung (profit taking), dengan resisten berada di kisaran Rp 14.150/US$, jika ditembus dan tertahan di atasnya rupiah berisiko melemah lebih jauh ke Rp 14.200/US$, sebelum menuju Rp 14.260/US$.
Sementara itu support terdekat berada di kisaran Rp 14.100/US$ hingga Rp 14.090/US$, penembusan di bawah level tersebut akan membawa rupiah ke Rp 14.050/US$ sebelum menuju level psikologis Rp 14.000/US$.
Penembusan dan pergerakan konsisten di bawah level psikologis tersebut akan membuka peluang rupiah menguat menuju Rp 13.810/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA