Dolar AS Terpuruk, Rupiah Bisa ke Rp 13.500/US$ Akhir Tahun?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 November 2020 16:50
Gubernur BI Perry Warjiyo
Foto: Tangkapan layar Youtube Kemenkeu

Pada Jumat (20/11/2020) nanti akan dirilis data transaksi berjalan yang menunjukkan surplus untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir.

Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.

Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money di pos transaksi modal dan finansial (komponen NPI lainnya) sehingga diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.

Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat.

Kini dengan "hantu" CAD yang diperkirakan pergi dari Indonesia untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir, akan menjadi modal rupiah untuk menguat di sisa tahun ini.

Surplus transaksi berjalan tersebut menjadi salah satu faktor nilai tukar rupiah dikatakan saat ini masih undervalue oleh Bank Indonesia (BI). Sehingga BI membuka ruang bagi rupiah untuk terus menguat.

"Bank Indonesia melihat ruang bagi Rupiah untuk terus menguat masih lebar, karena Rupiah secara real masih undervalued atau masih terlalu murah dari perspektif neraca transaksi berjalan, selisih inflasi, serta selisih suku bunga Rupiah dan Valuta Asing," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah.

"BI akan memberikan ruang bagi rupiah untuk berlanjut menguat sesuai nilai fundamental nya," tegasnya.

Sementara itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo, dan sejawat menggelar RDG pada 18-19 November 2020. Pengumuman hasil RGD akan dilakukan Kamis besok.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 4%.

Dari 13 ekonom/analis yang terlibat dalam pembentukan konsensus, delapan di antaranya memperkirakan suku bunga acuan tidak akan berubah.

Dengan ditahannya suku bunga, maka imbal hasil (yield) berinvestasi di dalam negeri akan relatif tinggi yang tentunya menarik pelaku pasar untuk mengalirkan investasinya.

Derasnya investasi sudah terlihat sejak awal bulan ini. Data Bank Indonesia menunjukkan pada periode 2-5 November 2020, transaksi nonresiden di pasar keuangan domestik membukukan beli neto Rp3,81 triliun. Rinciannya, beli neto di pasar SBN sebesar Rp3,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 60 miliar.

Sementara pada periode 9-12 November transaksi nonresiden di pasar keuangan domestik beli neto Rp 7,18 triliun, dengan beli neto di pasar SBN sebesar Rp4,71 triliun dan beli neto di pasar saham sebesar Rp 2,47 triliun.

Kombinasi surplus transaksi berjalan, dan derasnya investasi ke dalam negeri (jika terus berlanjut) tentunya menjadi modal kuat bagi rupiah menuju Rp 13.500an/US$ di sisa tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular