
Dolar AS Terpuruk, Rupiah Bisa ke Rp 13.500/US$ Akhir Tahun?

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah sedang perkasa melawan dolar Amerika Serikat (AS) belakangan ini, sukses membukukan penguatan dalam 6 pekan beruntun, dan berlanjut di 2 hari pertama minggu ini.
Sebelum melemah 0,14% ke Rp 14.050/US$ pada perdagangan Rabu (18/11/2020), dalam 2 hari sebelumnya rupiah membukan penguatan 0,85%. Sementara total penguatan selama 6 pekan beruntun sebesar 4,7%.
Sentimen pelaku pasar kini sudah mulai positif, bahkan "memborong" rupiah. Hal tersebut terlihat dari hasil survei 2 mingguan Reuters menunjukkan investor mengambil posisi bullish (tren menguat) rupiah tertinggi dalam 6 tahun terakhir.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (12/11/2020) kemarin menunjukkan angka -1,01, melesat dari 2 pekan lalu yang masih positif 0,09. Angka negatif tersebut merupakan yang tertinggi dalam 6 tahun terakhir.
Semakin tinggi angka negatif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi long rupiah, yang artinya Mata Uang Garuda kembali dicintai.
Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah di tahun ini, kala angka negatif maka rupiah cenderung menguat, begitu juga sebaliknya.
Di awal tahun ini hingga akhir Februari, hasil survei tersebut terus menunjukkan angka negatif. Angka negatif yang paling besar pada periode tersebut tercatat pada survei 23 Januari, yakni -0,86.
Saat itu rupiah berjaya, pada 24 Januari membukukan penguatan 2,29% secara year-to-date (YtD) ke Rp 13.565/US$, dan menjadi mata uang terbaik di dunia kala itu.
Sebaliknya, pada bulan Maret ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi short rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor. Rupiah pun ambruk nyaris 20% Ytd ke ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.
Namun sejak saat itu, hasil survei didominasi posisi short kembali, hingga akhirnya investor mengambil posisi long lagi pekan lalu, bahkan mencapai level tertinggi 6 tahun.
Melihat konsistensi pergerakan rupiah dengan hasil survei tersebut di tahun ini, rupiah tentunya berpeluang menguat di sisa tahun ini, bahkan tidak menutup kemungkinan kembali lagi ke kisaran Rp 13.500an/US$.
Apalagi, dolar AS diramal akan merosot hingga tahun depan. Sementara transaksi berjalan (current account) Indonesia diprediksi akan mencatat surplus untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir di kuartal III-2020, yang akan menopang berlanjutnya penguatan rupiah
Penguatan tajam rupiah sebenarnya terjadi dalam 2 pekan terakhir, Kemenangan Joseph 'Joe' Biden dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS), serta vaksin dari Pfizer serta Moderna.
Vaksin itu diklaim ampuh menangkal virus corona lebih dari 90% membuat sentimen pelaku pasar membaik dan mengalirkan investasinya ke negara-negara emerging market, seperti Indonesia. Rupiah pun menjadi perkasa.
Faktor-faktor yang membuat rupiah perkasa tersebut di sisi lain membuat dolar AS tertekan, bahkan diramal akan ambrol hingga tahun depan.
Citigroup memprediksi di tahun 2021, ketika vaksin virus corona didistribusikan dan perekonomian global mulai bangkit, maka dolar AS akan ambrol 20%.
"Kami percaya distribusi vaksin akan memenuhi semua tanda-tanda periode penurunan (bear market), dolar AS akan mengikuti pola sama yang terjadi pada pertengahan 2.000an, ketika memulai tren melemah yang berlangsung selama bertahun-tahun," kata ahli strategi Citigroup dalam sebuah laporan yang dikutip Bloomberg.
Citigroup mengatakan ada banyak alasan untuk optimistis dari pengembangan vaksin saat ini, dan ketika didistribusikan ke masyarakat akan menjadi awal penurunan dolar AS. Beberapa bulan ke belakang, ahli strategi Citigroup sudah mengantisipasi dolar AS akan terpukul akibat pemilihan presiden AS, vaksin, serta kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Sepanjang tahun ini hingga Senin kemarin, indeks dolar AS sudah merosot lebih dari 4% ke 92,412, berdasarkan data Refinitiv, dan berada di dekat level terendah dalam 2 tahun terakhir.
Joe Biden yang memenangi pemilihan presiden AS memberikan pukulan pertama bagi dolar AS. Pelaku pasar memperkirakan kemenangan Biden akan mengakhiri perang dagang AS-China, atau setidaknya tidak akan memburuk lagi.
Saat itu terjadi maka pelaku pasar akan semakin gencar masuk ke aset-aset berisiko, dan dolar AS yang merupakan aset safe haven menjadi semakin tak menarik.
Selain itu, stimulus fiskal yang akan digelontorkan Joe Biden kemungkinan lebih besar dari Trump. Semakin besar stimulus, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian bertambah, secara teori dolar AS akan melemah.
Belum lagi The Fed yang tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023 mendatang, dan ada kemungkinan stimulus moneter melalui program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan ditingkatkan nilainya.
Pada Jumat (20/11/2020) nanti akan dirilis data transaksi berjalan yang menunjukkan surplus untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir.
Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.
Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money di pos transaksi modal dan finansial (komponen NPI lainnya) sehingga diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.
Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat.
Kini dengan "hantu" CAD yang diperkirakan pergi dari Indonesia untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir, akan menjadi modal rupiah untuk menguat di sisa tahun ini.
Surplus transaksi berjalan tersebut menjadi salah satu faktor nilai tukar rupiah dikatakan saat ini masih undervalue oleh Bank Indonesia (BI). Sehingga BI membuka ruang bagi rupiah untuk terus menguat.
"Bank Indonesia melihat ruang bagi Rupiah untuk terus menguat masih lebar, karena Rupiah secara real masih undervalued atau masih terlalu murah dari perspektif neraca transaksi berjalan, selisih inflasi, serta selisih suku bunga Rupiah dan Valuta Asing," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah.
"BI akan memberikan ruang bagi rupiah untuk berlanjut menguat sesuai nilai fundamental nya," tegasnya.
Sementara itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo, dan sejawat menggelar RDG pada 18-19 November 2020. Pengumuman hasil RGD akan dilakukan Kamis besok.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 4%.
Dari 13 ekonom/analis yang terlibat dalam pembentukan konsensus, delapan di antaranya memperkirakan suku bunga acuan tidak akan berubah.
Dengan ditahannya suku bunga, maka imbal hasil (yield) berinvestasi di dalam negeri akan relatif tinggi yang tentunya menarik pelaku pasar untuk mengalirkan investasinya.
Derasnya investasi sudah terlihat sejak awal bulan ini. Data Bank Indonesia menunjukkan pada periode 2-5 November 2020, transaksi nonresiden di pasar keuangan domestik membukukan beli neto Rp3,81 triliun. Rinciannya, beli neto di pasar SBN sebesar Rp3,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 60 miliar.
Sementara pada periode 9-12 November transaksi nonresiden di pasar keuangan domestik beli neto Rp 7,18 triliun, dengan beli neto di pasar SBN sebesar Rp4,71 triliun dan beli neto di pasar saham sebesar Rp 2,47 triliun.
Kombinasi surplus transaksi berjalan, dan derasnya investasi ke dalam negeri (jika terus berlanjut) tentunya menjadi modal kuat bagi rupiah menuju Rp 13.500an/US$ di sisa tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
