Jakarta, CNBC Indonesia - Sinar dolar Amerika Serikat (AS) sebagai aset investasi sedang meredup di tahun ini, meski sempat berjaya pada bulan Maret lalu. Hal ini tercermin dari indeks dolar AS yang berada di dekat level terlemah dalam lebih dari 2 tahun terakhir.
Sepanjang tahun ini hingga Senin kemarin, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini merosot nyaris 4% ke 92,642, melansir data Refinitiv. Di bulan Maret lalu, indeks dolar AS sempat menyentuh level 102, tertinggi sejak Januari 2017.
Saat itu, virus corona mulai menyerang ke berbagai negara, kebijakan karantina (lockdown) marak dilakukan, yang memicu aksi jual di berbagai aset, mulai dari aset berisiko hingga aset safe haven seperti emas. Hingga muncul istilah "cash is the king", tapi bukan sembarang uang tunai, melainkan dolar AS, mengingat semua mata uang mulai dari negara maju hingga emerging market seperti rupiah ambrol.
Namun, kini sang raja sudah mulai lengser ke perabon, banyak yang memprediksi dolar AS akan terus merosot hingga tahun depan.
Kemenangan Joseph 'Joe' Biden dalam pemilihan presiden AS melawan petahana Donald Trump, memberikan membuat outlook dolar AS semakin gloomy. Pelaku pasar memperkirakan kemenangan Biden akan mengakhiri perang dagang AS-China, atau setidaknya tidak akan memburuk lagi.
Saat itu terjadi maka pelaku pasar akan semakin gencar masuk ke aset-aset berisiko, dan dolar AS yang merupakan aset safe haven menjadi semakin tak menarik.
Selain itu, stimulus fiskal yang akan digelontorkan Joe Biden kemungkinan lebih besar dari Trump. Semakin besar stimulus, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian bertambah, secara teori dolar AS akan melemah.
Belum lagi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023 mendatang, dan ada kemungkinan stimulus moneter melalui program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan ditingkatkan nilainya. Dolar AS akan semakin tertekan.
Selain itu, vaksin virus corona yang menjadi kabar baik bagi umat manusia justru menjadi kabar buruk bagi dolar AS.
Perusahaan farmasi asal AS, Pfizer yang berkolaborasi dengan BioNTech asal Jerman, Senin (9/11/2020) pekan lalu mengumumkan vaksin buatanya efektif menangkal penyakit akibat virus corona (Covid-19) hingga lebih dari 90% tanpa efek samping yang berbahaya.
Senin kemarin perusahaan farmasi asal AS lainnya, Moderna, yang mengumumkan hal sama.
CEO Moderna, Stephane Bancel, kemarin mengatakan hasil sementara uji coba tahap III vaksin miliknya efektif mencegah Covid-19 hingga lebih dari 94%.
"Ini merupakan momentum perbaikan dalam perkembangan kandidat vaksin Covid-19 milik kami. Sejak awal Januari kami mengejar virus ini dengan intens untuk melindungi manusia di seluruh dunia sebisa mungkin. Analisis positif dari studi fase III memberikan validasi klinis awal bahwa vaksin bisa mencegah Covid-19," ujarnya.
Citigroup memprediksi di tahun 2021, ketika vaksin virus corona didistribusikan dan perekonomian global mulai bangkit, maka dolar AS akan ambrol 20%.
"Kami percaya distribusi vaksin akan memenuhi semua tanda-tanda periode penurunan (bear market), dolar AS akan mengikuti pola sama yang terjadi pada pertengahan 2.000an, ketika memulai tren melemah yang berlangsung selama bertahun-tahun," kata ahli strategi Citigroup dalam sebuah laporan yang dikutip Bloomberg.
Calvin Tse, ahli strategi Citigroup mengatakan pelaku pasar seharusnya mulai berinvestasi ke dolar Australia dan krona Norwegia, dua mata uang yang terkait dengan komoditas. Sebabnya, saat perekonomian bangkit, harga komoditas akan ikut terkerek naik dan tentunya menguntungkan bagi negara-negara pengekspor komoditas, sehingga nilai mata uangnya akan terkerek naik.
Selain itu, menurut Tse, bank sentral Norwegia (Norges Bank) mengambil sikap relatif hawkish ketimbang negara-negara lainnya, termasuk The Fed. Selain itu, nilai tukar krona Norwegia juga disebut sangat undervalue.
Melansir data Refinitiv, krona pada perdagangan hari ini, Selasa (17/11/2020) berada di level 9,0331/US$, sepanjang tahun ini (year-to-date/YtD) melemah sekitar 3%. Sementara itu melawan rupiah, berada di level Rp 1.552,58/NOK, melemah sekitar 1,7% YtD.
Pada Kamis (5/11/2020) lalu, Norges Bank mengumumkan mempertahankan suku bunga acuannya sebesar 0%, dan akan mempertahankan kebijakan akomodatif hingga ada tanda-tanda pemulihan ekonomi yang jelas.
"Perekonomian yang merosot tajam dan ketidakpastian yang membayangi menunjukkan suku bunga akan dipertahankan hingga ada tanda-tanda yang jelas perekonomian mulai kembali normal," kata Norges Bank sebagaimana dilansir Reuters.
Antara Maret sampai Mei, Norges Bank sudah memangkas suku bunga sebanyak 3 kali, dan memproyeksikan kenaikan suku bunga baru akan dilakukan pada 2022.
Para ekonom yang disurvei Reuters memprediksi Norges Bank akan menaikkan suku bunga di semester I 2022.
Artinya, Norges Bank akan lebih cepat melakukan normalisasi suku bunga ketimbang The Fed yang mengindikasikan kenaikan pertama pada tahun 2023.
Sebelum Citigroup, bank investasi Goldman Sachs pada awal Juni lalu melihat mata uang krona Norwegia (NOK) akan sangat unggul saat dunia menerapkan new normal. Sehingga Goldman memberikan saran jual (short) pasangan dolar AS dan beli (long) untuk krona Norwegia.
Dalam catatan yang dikutip CNBC International, analis Goldman Sachs melihat infrastruktur kesehatan Norwegia dan posisi fiskal yang bagus sebagai dasar saran tersebut.
"Kondisi demografi dan infrastruktur medis domestik [Norwegia] menjadikan negara ini lebih siap menghadapi wabah ketimbang banyak negara lain. [Ditambah lagi] posisi fiskal yang kuat menempatkan [Norwegia] pada keuntungan yang berbeda," tulis analis Goldman, yang dipimpin oleh Co-Head pertukaran mata uang global Goldman, Zach Pandl dan Kamakshya Trivedi, dalam catatan, dilansir CNBC International, Selasa (2/6/2020).
"Saat [negara] lain terpaksa membatasi dukungan kebijakan fiskal atau secara dramatis menambah pinjaman - keduanya berpotensi memicu mata uangnya negatif - Norwegia mampu mengembalikan dana dari investasinya di luar negeri, membantu mendukung ekonomi dan mata uangnya [terapresiasi]," tulis Goldman.
Berdasarkan data dari Healtcare Ranking, Norwegia berada diperingkat 11 infrastruktur kesehatan terbaik di dunia berdasarkan jumlah populasi penduduk tahun 2020. Posisi tersebut jauh di atas Amerika Serikat yang berada di peringkat ke 37, sehingga, Norwegia jadi unggul dalam hal penanganan pandemi Covid-19 ketimbang AS.
Sementara itu dari sisi fiskal, Norwegia merupakan salah satu kreditor terbesar di dunia. Untuk membiayai pengeluaran fiskal guna menanggulangi Covid-19 tidak perlu berhutang, cukup dengan merepatriasi dananya.
Berdasarkan data CEIC, posisi investasi internasional netto (net international investment position/NIIP) Norwegia sebesar US$ 960,6 miliar. Nilai tersebut menggambarkan investasi asing yang dilakukan pemerintah, swasta, maupun individu Norwegia di luar negeri.
Dengan nilai tersebut, Norwegia menjadi negara kreditor terbesar ke-enam di dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA