Dolar AS Diramal Ambrol 20%, Cepat Buang atau Bakal Nangis!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 November 2020 12:18
dollar
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar baik bagi umat manusia datang sejak pekan lalu. Vaksin virus corona yang sedang dikebut uji klinisnya membuahkan hasil, 2 perusahaan farmasi asal Amerika Serikat (AS), mengumumkan hasilnya efektif mencegah penyakit akibat virus corona (Covid-10) lebih dari 90%.

Pengumuman tersebut disambut baik pelaku pasar, aset-aset berisiko kembali menjadi sasaran investasi, dan aset-aset aman (safe haven) seperti dolar AS, menjadi kurang menarik. Kabar baik tersebut menjadi kabar buruk bagi dolar AS.

Citigroup memprediksi di tahun 2021, ketika vaksin virus corona didistribusikan dan perekonomian global mulai bangkit, maka dolar AS akan ambrol 20%.

"Kami percaya distribusi vaksin akan memenuhi semua tanda-tanda periode penurunan (bear market), dolar AS akan mengikuti pola sama yang terjadi pada pertengahan 2.000an, ketika memulai tren melemah yang berlangsung selama bertahun-tahun," kata ahli strategi Citigroup dalam sebuah laporan yang dikutip Bloomberg.

Perusahaan farmasi asal AS, Pfizer yang berkolaborasi dengan BioNTech asal Jerman, Senin (9/11/2020) pekan lalu mengumumkan vaksin buatanya efektif menangkal penyakit akibat virus corona (Covid-19) hingga lebih dari 90% tanpa efek samping yang berbahaya.

Senin kemarin perusahaan farmasi asal AS lainnya, Moderna, yang mengumumkan hal sama.

CEO Moderna, Stephane Bancel, kemarin mengatakan hasil sementara uji coba tahap III vaksin miliknya efektif mencegah Covid-19 hingga lebih dari 94%.

"Ini merupakan momentum perbaikan dalam perkembangan kandidat vaksin Covid-19 milik kami. Sejak awal Januari kami mengejar virus ini dengan intens untuk melindungi manusia di seluruh dunia sebisa mungkin. Analisis positif dari studi fase III memberikan validasi klinis awal bahwa vaksin bisa mencegah Covid-19," ujarnya.

Citigroup mengatakan ada banyak alasan untuk optimistis dari pengembangan vaksin saat ini, dan ketika didistribusikan ke masyarakat akan menjadi awal penurunan dolar AS. Beberapa bulan ke belakang, ahli strategi Citigroup sudah mengantisipasi dolar AS akan terpukul akibat pemilihan presiden AS, vaksin, serta kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed)

Sepanjang tahun ini hingga Senin kemarin, indeks dolar AS sudah merosot nyaris 4% ke 92,642, berdasarkan data Refinitiv, dan berada di dekat level terendah dalam 2 tahun terakhir.

Joseph 'Joe' Biden memenangi pemilihan presiden AS melawan petahana Donald Trump, memberikan pukulan pertama bagi dolar AS. Pelaku pasar memperkirakan kemenangan Biden akan mengakhiri perang dagang AS-China, atau setidaknya tidak akan memburuk lagi.

Saat itu terjadi maka pelaku pasar akan semakin gencar masuk ke aset-aset berisiko, dan dolar AS yang merupakan aset safe haven menjadi semakin tak menarik.

Selain itu, stimulus fiskal yang akan digelontorkan Joe Biden kemungkinan lebih besar dari Trump. Semakin besar stimulus, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian bertambah, secara teori dolar AS akan melemah.

Belum lagi The Fed yang tidak akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2023 mendatang, dan ada kemungkinan stimulus moneter melalui program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan ditingkatkan nilainya.

Nilai tukar rupiah sudah menguat melawan dolar AS dalam enam pekan beruntun, dan masih berlanjut sejak kemarin. Di pembukaan perdagangan hari ini, Selasa (17/11/2020), rupiah langsung melesat 0,71% ke Rp 14.000/US$.

Sentimen pelaku pasar kini sudah mulai positif, bahkan "memborong" rupiah. Hal tersebut terlihat dari hasil survei 2 mingguan Reuters menunjukkan investor mengambil posisi bullish (tren menguat) rupiah tertinggi dalam 6 tahun terakhir.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (12/11/2020) kemarin menunjukkan angka -1,01, melesat dari 2 pekan lalu yang masih positif 0,09. Angka negatif tersebut merupakan yang tertinggi dalam 6 tahun terakhir.

Semakin tinggi angka negatif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi long rupiah, yang artinya Mata Uang Garuda kembali dicintai.

Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah di tahun ini, kala angka positif maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.

Di bulan Januari saat hasil survei menunjukkan angka negatif rupiah terus menguat melawan dolar AS. Pada 24 Januari, rupiah membukukan penguatan 2,29% secara year-to-date (YtD), dan menjadi mata uang terbaik di dunia kala itu.

Pada Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi short rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor. Rupiah pun ambruk nyaris 20% Ytd ke ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni. Namun sejak saat itu, hasil survei didominasi posisi short kembali, hingga akhirnya investor mengambil posisi long lagi pekan lalu.

Dengan posisi long yang mencapai level tertinggi 6 tahun, rupiah tentunya berpeluang menguat lagi ke depannya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Next Page
Asing Mulai
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular