Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri menguat pada pekan ini, melanjutkan kinerja impresif pada lalu. Jika pekan lalu penguatan ditopang kemenangan Joseph 'Joe' Biden, di pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) melawan petahana Donald Trump, pekan ini giliran vaksin Pfizer yang membuat pasar keuangan dalam negeri menghijau.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan penguatan 2,35% ke 5.461,058. Data perdagangan mencatat investor asing melakukan beli bersih (net buy) sebesar Rp 4,45 triliun.
Di pasar obligasi, hanya Surat Berharga Negara (SBN) tenor 20 tahun yang mengalami pelemahan, di mana yield-nya naik 2,9 basis poin (bps) menjadi 7,239%. Sementara tenor lainnya, semuanya mengalami penguatan.
Untuk diketahui, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harga obligasi, ketika harga naik yield akan turun, begitu juga sebaliknya.
Yield SBN tenor 10 tahun turun 6,1 bps menjadi 6,324%, level tersebut merupakan yang terendah dalam lebih dari 2 tahun terakhir, tepatnya sejak 2 Februari 2018.
Minat investor terhadap obligasi Indonesia sedang tinggi, tercermin dari lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara pada Selasa (10/11/2020) lalu kelebihan permintaan (oversubscribed) 2 kali lipat dengan total penawaran yang masuk sebesar Rp 22,6 triliun, lebih tinggi dari penawaran yang masuk dalam lelang 2 pekan sebelumnya Rp 20,9 triliun.
Target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 10 triliun, dan dimenangkan dengan nilai yang sama.
Besarnya aliran modal di pasar saham dan obligasi membuat rupiah perkasa, membukukan penguatan 0,28% ke Rp 14.150/US$, bahkan sempat menembus ke bawah level Rp 14.000/US$. Mata Uang Garuda juga sukses membukukan penguatan 6 pekan beruntun melawan dolar AS, dan menumbangkan mayoritas mata uang utama dunia.
Kemenangan Biden dianggap menguntungkan negera-negara emerging market seperti Indonesia. Sebab perang dagang AS-China kemungkinan akan berakhir atau setidaknya tidak memburuk.
Analis dari Citi memprediksi kemenangan Joe Biden ke depannya dolar AS akan melemah dan mata uang emerging market akan menjadi yang paling diuntungkan. Alasannya, seperti yang disebutkan sebelumnya, perang dagang dengan China kemungkinan akan berakhir, selain itu pemerintahan akan kembali konvensional.
"Mungkin perdagangan internasional yang paling terlihat pasti usai pilpres. Kebijakan luar negeri AS akan lebih bisa diprediksi tanpa ancaman kenaikan bea impor. Kami melihat penurunan dolar AS, dan penguatan mata uang emerging market," tulis analis Citi, sebagaimana dilansir CNBC International.
Selain itu, stimulus fiskal yang akan digelontorkan juga akan lebih besar ketimbang yang akan digelontorkan Trump dan Partai Republik. Negara-negara emerging market seperti Indonesia juga berpotensi kecipratan aliran modal.
Di awal pekan lalu, perusahaan farmasi asal AS, Pfizer, yang berkolaborasi dengan BioNTech asal Jerman, mengumumkan vaksin buatannya efektif menangkal penyakit akibat Covid-19 hingga lebih dari 90% tanpa efek samping yang berbahaya.
Chairman & CEO Pfizer Albert Bourla mengatakan perkembangan terakhir tersebut menjadi hari yang indah bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Efikasi final dari vaksin tersebut dikatakan aman.
"Hasil pertama dari uji klinis fase tiga uji vaksin mengindikasikan kemampuan vaksin kami untuk mencegah Covid-19," Chairman & CEO Pfizer Albert Bourla dalam pernyataannya, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (9/11/2020).
Kabar vaksin virus corona dari Pfizer tersebut membuat pelaku pasar semakin ceria, hingga mengalirkan investasi ke negara-negara emerging market dengan imbal hasil tinggi seperti Indonesia.
Sentimen dari Biden dan Pfizer masih akan mempengaruhi pasar keuangan dalam negeri di pekan ini. Selain itu perhatian juga tertuju pada rilis data transaksi berjalan (current account) yang diprediksi akan mencatat surplus untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir.
Transaksi berjalan merupakan satu dari dua komponen Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), dan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, Pos ini menggambarkan arus masuk-keluar devisa yang datang dari ekspor-impor barang dan jasa, pendapatan primer, serta serta pendapatan sekunder.
Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi 'hantu' bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money di pos transaksi modal dan finansial (komponen NPI lainnya) sehingga diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.
Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat.
Di kuartal II-2020 lalu, transaksi berjalan Indonesia mencatat defisit 1,2% dari produk domestik bruto (PDB). Kini, di tengah pandemi Covid-19, BI memprediksi pada kuartal III-2020 ada kemungkinan transaksi berjalan bakal kembali surplus.
"Transaksi berjalan pada kuartal III-2020 diperkirakan akan mencatat surplus. Dipengaruhi oleh perbaikan ekspor dan penyesuaian impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum cukup kuat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam jumpa pers usar Rapat Dewan Gubernur Periode September 2020.
Surplus current account untuk pertama kalinya tentunya menjadi kabar bagus, tetapi pertanyaannya apakah surplus tersebut bisa dipertahankan ke depannya, mengingat surplus dicatat akibat impor yang anjlok tajam. Kemerosotan impor terjadi akibat resesi yang dialami Indonesia, artinya jika perekonomian mulai pulih, impor kemungkinan akan meningkat lagi, tentunya current account berisiko defisit lagi.
Surplus transaksi berjalan, meski masih belum diketahui bisa dipertahankan untuk jangka panjang, tetapi bisa menambah sentimen positif untuk pekan depan.
Selain itu, bursa saham AS (Wall Street) di perdagangan Jumat (13/11/2020) kembali melesat naik, indeks S&P 500 bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Sebagai kiblat bursa saham dunia, Wall Street yang menguat tentunya mengirim sentimen positif ke pasar Asia Senin (16/11/2020), dan berpotensi membawa IHSG kembali menghijau.
Sentimen pelaku pasar yang masih bagus tentunya juga akan mendongkrak pasar obligasi lagi. Jika aliran investasi asing kembali masuk ke pasar saham dan obligasi, rupiah tentunya bisa berjaya kembali.
Selain itu, kabar bagus datang dari hasil survei 2 mingguan Reuters yang menunjukkan pelaku pasar mulai "memborong" rupiah lagi.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (12/11/2020) kemarin menunjukkan angka -1,01, melesat dari 2 pekan lalu yang masih positif 0,09. Angka negatif tersebut merupakan yang tertinggi dalam 6 tahun terakhir.
Semakin tinggi angka negatif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi long rupiah, yang artinya Mata Uang Garuda kembali dicintai.
Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah di tahun ini, kala angka positif maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.
Di bulan Januari saat hasil survei menunjukkan angka negatif rupiah terus menguat melawan dolar AS. Pada 24 Januari, rupiah membukukan penguatan 2,29% secara year-to-date (YtD), dan menjadi mata uang terbaik di dunia kala itu.
Pada Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi short rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor. Rupiah pun ambruk nyaris 20% Ytd ke ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni. Namun sejak saat itu, hasil survei didominasi posisi short kembali, hingga akhirnya investor mengambil posisi long lagi di pekan ini.
Dengan posisi long yang mencapai level tertinggi 6 tahun, rupiah tentunya berpeluang menguat lagi ke depannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA