
Ini Kunci Pendongkrak Kinerja Bank Mega di Kala Pandemi

Jakarta, CNBC Indonesia - Sinyal pemulihan ekonomi mulai terlihat pada kuartal III-2020. Pertumbuhan ekonomi tumbuh 5,05% secara kuartalan, meski belum kembali ke level pra-pandemi sebagaimana terlihat dari kontraksi sebesar -3,49% secara tahunan.
Di tengah tren pemulihan tersebut, perbankan Indonesia masih berkutat dengan restrukturisasi yang menekan laba. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September mencatat rerata laba sebelum pajak (profit before tax/PBT) perbankan nasional ambles hingga minus 27,6%.
Pertumbuhan kredit masih lemah, yakni tumbuh 0,12% secara tahunan dan secara bulanan terhitung masih tumbuh 0,16%. Kredit modal kerja tercatat tumbuh 0,08% secara bulanan, dan 2,8% secara tahun berjalan, meski secara tahunan masih terhitung melemah 2,4%.
Di tengah situasi sulit tersebut, tidak heran jika kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) gross-yang mencerminkan besarnya efek tekanan perekonomian terhadap kinerja debitur perbankan-tercatat membengkak, dari posisi 2,66% pada September tahun lalu menjadi 3,15% per September 2020.
Mengingat batas aman NPL gross adalah 5% sesuai ketentuan OJK dan Bank Indonesia (BI), bisa diartikan bahwa tekanan ekonomi yang masih menekan industri, dan khususnya para debitur perbankan, masih berada di level yang masih bisa ditolerir.
Namun uniknya, beberapa bank tercatat masih membukukan kinerja positif dan melampaui industri. Salah satunya adalah PT Bank Mega Tbk yang mencetak pertumbuhan PBT sebesar 27,7% menjadi Rp 2,2 triliun, alias bertambah Rp 479 miliar secara YoY.
PBT menunjukkan keunggulan laba dari aspek operasional, karena tak memasukkan faktor pajak.
Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, capaian tersebut mengungguli bank-bank umum nasional yang secara rata-rata anjlok 27,6% dan juga menjadi yang terbaik di antara bank umum konvensional Buku III (bermodal inti Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun) non-BPD yang hanya tumbuh 2,4%.
Kuatnya profitabilitas Emiten berkode saham MEGA tersebut terjadi berkat kepiawaian Kostaman Thayib selaku Direktur Utama Bank Mega mendongkrak pendapatan bunga bersih (net interest income/NII), di tengah tantangan pandemi.
Hingga September, pendapatan bunga bersih perseroan tumbuh 8,3% secara tahunan menjadi Rp 2,97 triliun. NII merupakan indikator kemampuan sebuah bank memutar dana nasabah yang dikelolanya menjadi kucuran kredit yang aman dan juga menguntungkan.
Kuatnya pendapatan bunga tidak terlepas dari kenaikan kredit yang disalurkan, meski di kala pandemi, serta kemampuan perseroan menjaga agar pos beban tidak membengkak sehingga berujung pada keunggulan efisiensi.
Di tengah krisis, kinerja penyaluran kredit pasti tertekan. Menyusul wabah Covid-19, Bank Indonesia (BI) telah beberapa kali merevisi target pertumbuhan kredit untuk tahun 2020: dari 10%-12% (akhir 2019), direvisi menjadi 9%-11% (Februari), dan menjadi 6%-8% (Maret).
Data OJK per September menyebutkan pertumbuhan kredit masih lemah, yakni hanya 0,12% secara tahunan. Secara bulanan juga terhitung tumbuh hanya 0,16%. Kredit modal kerja tercatat tumbuh 0,08% secara bulanan, dan 2,8% secara tahun berjalan, meski secara tahunan masih melemah 2,4%.
Namun, penyaluran kredit Bank Mega justru bagaikan tahan-pandemi dengan tumbuh 4,7% menjadi Rp 50,5 triliun. Menurut data Tim Riset CNBC Indonesia, capaian itu melampaui kinerja kredit bank sejenis, yang justru minus 3,37%.
Jika melihat rasio profitabilitas lainnya, Bank Mega juga unggul dibandingkan dengan kompetitornya. Rasio pengembalian aset (return on asset/ROA) masih tumbuh positif sebesar 2,9%, dibandingkan posisi tahun lalu sebesar 2,7% dan juga lebih baik dari capaian industri.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) terbaru (per Agustus), ROA perbankan nasional hanya di level 1,9%. ROA bank Mega itu merupakan yang tertinggi di antara bank sekelasnya (bank umum konvensional buku III non-BPD). Rata-rata ROA bank di kategori tersebut sejauh ini berada di level 0,99%.
Di sisi lain, rasio pengembalian ekuitas (return on equity/ROE) masih kuat, sebesar 15,7%, jika dibandingkan dengan posisi setahun sebelumnya (14%). Ini juga menjadi yang tertinggi di antara ROE bank sejenis (bank umum konvensional buku III non-BPD) sebesar 5,56%.
Di tengah pandemi, efisiensi menjadi kunci penting untuk menyelamatkan kinerja. Dalam laporan berjudul "Outlook 2020: Industry Trends and The Challenges Ahead" yang dirilis pada April 2020, lembaga riset asal Amerika Serikat (AS) Bancography menilai ada dua pelajaran penting dari pandemi corona terhadap pelaku industri jasa keuangan dan perbankan.
Pertama, pendapatan yang menurun akibat turunnya permintaan kredit dan perlambatan ekonomi, memaksa bank dan lembaga pembiayaan menjaga profitabilitas dengan mengurangi beban operasional. Kedua, Covid-19 mengajari masyarakat mempercepat migrasi ke digital.
Kemampuan Bank Mega mencetak laba per September tak bisa dilepaskan dari keberhasilannya mendongkrak efisiensi, di samping menumbuhkan pendapatan. Efisiensi Bank Mega menurut temuan Tim Riset CNBC Indonesia menjadi yang terbaik di antara bank sejenis di kelasnya.
Perseroan tercatat sukses mengendalikan beban operasional (untuk membiayai operasi kantor cabang, gaji karyawan, dlsb), melalui inovasi digital dan otomasi yang telah diberlakukan sejak 2 tahun terakhir, baik untuk back office maupun front offiice.
Rasio beban operasi terhadap pendapatan operasi (BOPO) perseroan pun hanya 71% atau turun dari September lalu (74,8%). Angka tersebut mendekati kisaran ideal yang dipatok Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di level 70%.
Angka itu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan rerata industri yang menurut data terbaru OJK (per Agustus) berada di level 85%.
Bahkan jika dibandingkan dengan bank sejenis, yang sebesar 100,7%, maka rasio efisiensi Bank Mega tersebut jauh lebih baik. Sebagai perbandingan, rasio BOPO PT Bank Tabungan Negara Tbk per September mencapai 93%.
Keunggulan efisiensi bank berusia 51 tahun tersebut tidak lepas dari program otomasi dan digitalisasi yang telah dirintis perseroan, khususnya dalam dua tahun terakhir. Kedua program tersebut, mengutip penelitian McKinsey berjudul "The Transformative Power of Automation in Banking" (2017) bisa berujung pada efisiensi hingga sebesar 35%.
Keunggulan melakukan efisiensi di tengah pandemi, yang dikombinasikan dengan kelihaian menyelia sektor yang jadi target penyaluran kredit, berujung pada postifnya pendapatan bunga perseroan bahkan ketika perekonomian sedang tertekan.
Jika dalam kondisi resesi saja kinerja positif tersebut terjaga, maka ada peluang besar bahwa kinerja Bank Mega bakal terdongkrak lebih tinggi lagi ketika ekonomi benar-benar menunjukkan pemulihan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lawan Tren Industri, Bank Mega Kian Untung di Tahun Pandemi