Biden Menang! AS-China akan Damai, Yuan Cocok Jadi Investasi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 November 2020 18:10
Yuan, Dollar
Foto: REUTERS/Thomas White

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) sudah menghasilkan pemenang, Joseph 'Joe' Biden dari Partai Demokrat berhasil mengalahkan petahana dari Partai Republik, Donald Trump.

Berdasarkan data dari NBC News, Biden memperoleh 279 electoral vote, sementara Trump 214 electoral vote. Meski perhitungan di beberapa negara bagian masih berlangsung, tetapi peroleh Biden sudah melebihi batas minimal 270 electoral vote.

Beberapa kepala negara mulai dari Kanselir Jerman, Presiden Prancis, Perdana Menteri Kanada, India, hingga Australia sudah memberikan selamat, termasuk Presiden Joko Widodo sudah mengucapkan selamat ke Joe Biden.

"Selamat terhangat saya untuk Joe Biden dan Kamala Harris atas pemilihan bersejarah Anda. Hasil yang sangat besar adalah refleksi dari harapan yang ditempatkan pada demokrasi," kata Jokowi, di akun Facebook dan Instagram resminya, dikutip Minggu (8/11/2020).

"Saya menantikan untuk bekerjasama dengan Anda dalam memperkuat kemitraan strategis Indonesia-AS dan mendorong kerjasama kita di bidang ekonomi, demokrasi dan multilateralisme untuk kepentingan kedua bangsa dan seterusnya," imbuhnya.

Namun, Presiden China, Xi Jinping masih belum mengucapkan selamat. Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden ke-45 Donald Trump, mengobarkan perang dagang dengan China sejak tahun 2018 lalu.

Dengan lengsernya Trump, perang dagang kedua negara diperkirakan akan berakhir, atau setidaknya tidak semakin memburuk.

Perang dagang telah membuat perekonomian kedua negara melambat signifikan di tahun 2019, bahkan turut menyeret turun pertumbuhan ekonomi dunia.

Sepanjang tahun 2019, perekonomian China tumbuh 6,1%, turun jauh dibandingkan tahun 2018 sebesar 6,6%. Sementara itu perekonomian AS tumbuh 2,3% di 2019, turun dari 2,9% di tahun 2018.

Data dari Bank Dunia (World Bank) menunjukkan di tahun 2019 perekonomian dunia tumbuh 2,4% melambat dari tahun sebelumnya 3%.

Perang dagang AS-China juga membuat mata uang yuan China ambrol ke level terlemah dalam 1 dekade terakhir. Pada 3 September lalu, yuan menyentuh level CNY 7,1844/US$ yang merupakan level terlemah sejak 15 Februari 2008.

Setelah mencapai level tersebut, yuan perlahan kembali menguat setelah AS-China menyepakati perjanjian dagang fase I yang ditandatangani pada Januari lalu. Yuan berada di kisaran 6,8/US$ pada pertengahan Januari 2020 lalu.

Namun, pandemi penyakit virus corona (Covid-19) membuat yuan kembali merosot, di bulan Mei lalu kembali ke atas 7/US$. Keberhasilan meredam pandemi Covid-19 membuat yuan kembali menguat, dan semakin terakselerasi setelah Biden diunggulkan memenangi pilpres AS.

Pada hari ini, Senin (9/11/2020), yuan menguat 0,5% ke 6,5748/US$, dan sepanjang pekan lalu melesat 1,24%. Sepanjang tahun ini, yuan berhasil menguat lebih dari 5,5%.

 

Seperti disebutkan sebelumnya, pada tahun lalu yuan sempat menyentuh level terlemah dalam 1 dekade terakhir. Salah satu penyebabnya adalah Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) yang mendevaluasi nilai tukar yuan.

Meski yuan saat ini dalam tren menguat, tetapi pergerakan nilai tukar yuan sangat dikontrol oleh bank sentral China, (People's Bank of China/PBoC).

Setiap harinya PBoC akan menetapkan nilai tukar yuan terhadap dolar AS, dan membiarkannya bergerak melemah atau menguat hingga maksimal 2% dari nilai tengah.

Kontrol PBoC terhadap nilai tukar tersebut menjadi kurang disukai dalam transaksi perdagangan. PBoC bisa sewaktu-waktu melemahkan atau menguatkan nilai tukar mata uang yang juga disebut renminbi ini. Tentunya akan kurang menguntungkan saat memegang yuan, kemudian PBoC mendevaluasi nilai tukarnya secara signifikan.

Namun pada akhir Oktober lalu, Gubernur PBoC, Yi Gang, mengatakan China akan berusaha meningkatkan fleksibilitas mata uang yuan, dan mengurangi pembatasan penggunaan yuan di luar negeri.

Yi yang berbicara dalam konferensi Bund Summit di Shanghai Jumat (23/10/2020) menambahkan langkah tersebut dibutuhkan untuk mempromosikan terbukanya industri jasa finansial China.

"China akan meningkatkan fleksibilitas yuan, membiarkan nilai tukar berperan lebih besar sebagai penyeimbang dalam ekonomi makro serta neraca pembayaran international," kata Yi sebagaimana dilansir CNBC International.

"Guna mendorong internasionalisasi yuan, China akan meningkatkan infrastruktur penggunaan yuan antar negara," tambahnya.

Langkah tersebut menunjukkan China semakin gencar mempromosikan yuan sebagai mata uang internasional.

"Internasionalisasi yuan berubah dari sesuatu yang diinginkan menjadi hal yang sangat diperlukan bagi Beijing. China perlu mencari pengganti dolar di tengah ketidakpastian politik," kata Ding Shuang, kepala ekonom Standard Chartered untuk wilayah China dan Asia Utara, seperti diberitakan Bloomberg bulan Juli lalu.

Yuan China yang akan dibuat lebih fleksibel tentunya akan membuatnya lebih menarik.

Yuan merupakan satu dari lima mata uang yang termasuk dalam Special Drawing Rights (SDR) IMF, empat lainnya yakni dolar AS, euro, yen, dan poundsterling. Status tersebut baru didapatkan pada September 2016 dan menguatkan posisi yuan sebagai mata uang internasional.

Tetapi, meski sudah mendapat status "istimewa" tersebut, dibandingkan mata uang lainnya porsi yuan dalam cadangan devisa ternyata memang sangat kecil.

Berdasarkan data dari International Monetari Fund (IMF), porsi yuan di cadangan devisa global hanya 1,92% atau serata US$ 230,4 miliar di kuartal II-2020. Sangat jauh dibandingkan dolar AS yang "menguasai dunia", porsinya di cadangan devisa global mencapai 57,45% atau US$ 6.901,5 miliar.

Yuan hanya berada di urutan ke-5 mata uang cadangan devisa. Dengan rencana PBoC untuk membuat yuan lebih fleksibel, tentunya tujuannya agar yuan lebih disukai dan semakin banyak digunakan untuk transaksi internasional.

Yuan hanya berada di urutan ke-5 mata uang cadangan devisa. Dengan rencana PBoC untuk membuat yuan lebih fleksibel, tentunya tujuannya agar yuan lebih disukai dan semakin banyak digunakan untuk transaksi internasional.

Dalam beberapa tahun ke depan yuan diprediksi masuk dalam tiga besar mata uang cadangan devisa. Porsi yuan di cadangan devisa global sebenarnya terus bertambah secara konsisten dalam berapa tahun terakhir. Pada kuartal IV-2016, porsi yuan di cadangan devisa global hanya 1,07%.

Penambahan porsi yuan tersebut diprediksi masih akan terus terjadi di tahun-tahun mendatang hingga mencapai 5-10% dari total cadangan devisa dunia.

"Pada akhirnya, apa yang kita pikirkan akan terjadi dalam 25 tahun ke depan adalah kita akan maju, kita akan memiliki dunia dengan tiga mata uang utama: dolar AS, euro, dan yuan" kata Massimiliano Castelli, head of strategy and advice, global sovereign markets, dari UBS Asset Management, sebagaimana dilansir Reuters.

Melihat proyeksi tersebu, investasi yuan bisa jadi menarik tetapi dalam jangka panjang.

Apalagi, China menjadi yang terdepan dalam pengembangan mata uang digital. Pada April 2020, PBOC meluncurkan pilot project mata uang digital China atau yang lebih dikenal dengan Digital Currency/Electronic Payment (DCEP) atau e-CNY.

China mengungguli negara-negara lain dalam pengembangan mata uang digital.

Sampai medio 2020, ada 10 negara yang sudah mulai melakukan pilot project penggunaan mata uang digital buatan bank sentralnya termasuk China dan dua negara dari OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) yakni Swedia dan Korea Selatan.

AS dan belasan anggota OECD lain masih berada di tahap riset terhadap pengembangan mata uang digital ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular