Rupiah Menguat Tajam 4 Bulan, BI: Masih Undervalued!

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
06 November 2020 15:08
CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) menilai level kurs rupiah pada saat ini masih berada kategori kemurahan alias undervalued terhadap mata uang dolar AS.

"Level nilai tukar saat ini masih undervalued," ujarnya Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, Jumat (6/11/2020).

Bila memperhitungkan inflasi di September 2020 yang hanya 0,07% atau 1,44% year to date, dan dengan perkiraan akan berada di batas bawah target inflasi 2020, maka secara perhitungan real, nilai tukar rupiah saat ini masih "sangat undervalued".

Dengan masih undervalued tersebut, Nanang menilai bahwa nilai tukar rupiah masih bisa terus menguat dari posisi saat ini.

"Seharusnya bisa memiliki ruang untuk terus menguat sejalan dengan neraca perdagangan yang membukukan surplus dalam beberapa bulan terakhir," kata dia.

Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah (CNBC Indonesia)Foto: Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah (CNBC Indonesia)
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah (CNBC Indonesia)

Menurut Nanang, BI melihat bahwa jalan penguatan rupiah akan semakin lapang, terutama bila melihat indikasi kurs NDF (Non-Delivery Forward) yang diperdagangkan di pasar keuangan luar negeri turun tajam, bahkan tembus di bawah Rp 14.300 tadi malam di sesi perdagangan New York.

Hal ini karena melemahnya dolar AS dalam skala global. Indeks dolar atau DXY turun tajam dari level 94 ke 92 pagi ini. 

Dia mengatakan, melemahnya dolar AS ini dinilai karena investor mulai melirik lagi aset keuangan negara berkembang setelah indikasi semakin kuat kemenangan Joe Biden dalam pemilu AS, melawan petahana Donald Trump.

"BI akan memberikan ruang bagi rupiah untuk berlanjut menguat sesuai nilai fundamental nya," tegasnya.

Nilai tukar rupiah kembali melanjutkan penguatan melawan dolar AS. Pada pukul 12:00 WIB, US$ 1 setara Rp 14.190, rupiah menguat tajam 1,25% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Kemarin, rupiah juga melesat lebih dari 1%. Alhasil, mata uang Garuda kini berada di level terkuat dalam lebih dari 4 bulan, tepatnya sejak 1 Juli lalu.

"BI akan memberikan ruang bagi rupiah untuk berlanjut menguat sesuai nilai fundamental nya," kata Nanang.

Lebih lanjut, Nanang menjelaskan secara keseluruhan neraca transaksi berjalan (current account) diperkirakan akan beralih menjadi surplus di triwulan III/2020 ini, setelah sempat defisit US$ 2,9 miliar di triwulan II/2020.

Dia mengatakan, rupiah seharusnya juga masih bisa menguat kalau memperhitungkan yield differential. Yield (imbal hasil) SBN 10 tahun saat ini meski turun ke 6,50% masih jauh lebih tinggi dibandingkan yield obligasi negara peer Asia.

Tidak heran bila kemarin investor global mulai memburu lagi SBN. Tercatat ada sebesar Rp 4,5 triliun SBN yang dibeli investor asing kemarin.

Selain itu, katanya, dari sisi global, langkah the Fed, atau bank sentral AS, yang diperkirakan akan terus menempuh quantitative easing (QE) akan membuat likuiditas dollar membanjiri pasar keuangan global dan merembes ke negara berkembang.

Terakhir komitmen the Fed akan terus melakukan pembelian obligasi pemerintah AS sebesar US$ 120 miliar per bulan, yang berarti likuiditas dolar akan semakin melimpah di pasar.

Ditambah lagi bila stimulus fiskal AS sebesar US$ 2,2 triliun bergulir di masa pemerintahan Biden, jika wapres era Presiden Obama itu memenangkan Pilpres AS.


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Percaya Deh, Rupiah Perkasa Jika Biden Jadi Presiden Amerika!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular