Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa (cadev) Indonesia menurun dalam 2 bulan beruntun, menjauhi rekor tertinggi sepanjang masa yang dicapai pada Agustus lalu. Rilis terbaru dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan per 31 Oktober cadangan devisa sebesar US$ 133,7 miliar, turun US$ 1,5 miliar dibandingkan posisi akhir September.
"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Oktober 2020 tetap tinggi sebesar US$ 133,7 miliar, meskipun menurun dibandingkan dengan posisi akhir September 2020 sebesar US$ 135,2 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 9,7 bulan impor atau 9,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," sebut keterangan tertulis Bank Indonesia, Jumat (6/11/2020).
Pada bulan September, cadev juga mengalami penurunan US$ 1,8 miliar dari bulan Agustus US$ 137 miliar yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.
Penyebab penurunan dalam 2 bulan beruntun tersebut sama, pembayaran utang luar negeri.
Seandainya tidak membayar utang, ada kemungkinan posisi cadev meningkat, sebab kebutuhan untuk intervensi rupiah minim. Sepanjang bulan Oktober, rupiah mampu membukukan penguatan 1,55%.Â
Kemudian, harga komoditas ekspor andalan Indonesia juga mengalami kenaikan bulan lalu, tentunya meningkatkan pendapatan ekspor. Minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) misalnya, rata-rata harganya sepanjang bulan Oktober sebesar 2.908 ringgit/ton, lebih tinggi dari bulan September 2.859 ringgit/ton. Harga CPO bahkan berada di level tertinggi sejak Januari atau sebelum pandemi melanda dunia.
Kemudian rata-rata harga batu bara acuan Ice Newcastle di bulan Oktober US$ 58,5/ton lebih tinggi dari rata-rata bulan September US$ 55/ton.
Dalam keterangannya hari ini, BI memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Perekonomian Indonesia memang mulai membaik, meski masih mengalami kontraksi di kuartal III-2020, sehingga sah mengalami resesi untuk kali pertama sejak 1999.
Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin melaporkan pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2020 mengalami kontraksi atau tumbuh negatif 3,49% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Di kuartal II-2020 lalu, PDB tumbuh negatif 5,32% YoY, yang artinya kontraksi ekonomi pada periode Juli-September lebih landai.
"Perekonomian di berbagai negara pada triwulan III lebih baik dibandingkan dengan triwulan II. Namun masih ada kendala karena tingginya kasus Covid-19. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam triwulan-triwulan mendatang. Perekonomian beberapa negara mitra dagang Indonesia pada triwulan III masih terkontraksi, tetapi tidak sedalam triwulan II," papar Suhariyanto, Kepala BPS.
Secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ), BPS melaporkan PDB Indonesia mampu tumbuh positif 5,05% pada kuartal III-2020. Namun pertumbuhan ekonomi secara kumulatif Januari-September 2020 (cummulative-to-cummulative/CtC) adalah -2,03%.
Tanda-tanda pemulihan ekonomi di kuartal IV-2020 mulai terlihat. Pada Oktober, yang merupakan bulan pertama kuartal IV, aktivitas manufaktur Indonesia membaik yang dicerminkan dari angka Purchasing Managers' Index (PMI). IHS Markit melaporkan skor PMI manufaktur Indonesia pada Oktober adalah 47,8. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 47,2.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 berarti kontraksi, sementara di atasnya berarti ekspansi. Memang sektor manufaktur masih berkontraksi tetapi di bulan November, sektor manufaktur berpeluang kembali berekspansi, sebab Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta sudah dilonggarkan. Meski pemulihan diprediksi akan berjalan lambat.
"Dampak pelonggaran PSBB pada pertengahan Oktober akan terlihat pada November. Namun dengan ketidakpastian ke mana kurva kasus corona akan mengarah, perbaikan selanjutnya akan sangat tergantung dari kehadiran vaksin anti-virus corona. Sepanjang masih belum ada kepastian, aktivitas ekonomi masih akan lambat dalam beberapa bulan ke depan," papar Bernard Aw, Principal Economist HIS Markit, seperti dikutip dari siaran tertulis.
Pada bulan Agustus lalu, PMI manufaktur sebenarnya sempat kembali berekspansi, tetapi setelah DKI Jakarta kembali mengetatkan PSBB pada pertengahan September, kontraksi kembali terjadi.
Sektor manufaktur adalah penyumbang utama PDB dari sisi lapangan usaha, oleh karena itu kembali berekspansinya sektor manufaktur akan memberikan dampak yang signifikan ke PDB. Sehingga jika di sisa tahun ini PSBB tidak lagi diketatkan, pemulihan ekonomi akan kembali pada jalurnya.
Selain itu, Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan berjudul A Long and Difficult Ascent pertengahan Oktober lalu memperkirakan ekonomi dunia pada 2020 mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 4,4%. Membaik dibandingkan proyeksi yang dirilis pada April lalu yaitu -4,9%.
IMF melihat perekonomian membaik di paruh kedua tahun ini. Artinya, ekspor Indonesia juga berpeluang meningkat. Selain itu membaiknya ekonomi global, tentunya membuat nilai tukar rupiah berpeluang melanjutkan tren penguatan atau setidaknya bisa stabil, sehingga kebutuhan intervensi menjadi minim
Meski demikian, patut diwaspadai penyebaran akibat virus corona (Covid-19) gelombang kedua, yang kini sudah melanda Eropa. Beberapa negara bahkan kembali menerapkan kebijakan lockdown, meski tidak seketat sebelumnya. Tetapi tetap saja bisa menghambat laju pemulihan ekonomi Eropa, bahkan bisa merosot kembali jika lockdown belangsung lama.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA