
Ini Sederet Bocoran dari OJK Soal Merger 3 Bank Syariah BUMN

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya buka suara terkait merger tiga bank syariah milik bank badan usaha milik negara (BUMN). Menurut regulator industri keuangan dan pasar modal ini, proses merger 3 bank tersebut selesai pada Februari tahun depan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana sudah mendapatkan laporan mengenai perjanjian bersyarat Conditional Merger Agreement (CMA) rencana merger PT Bank Syariah Mandiri (BSM), PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), dan PT Bank BNI Syariah. OJK akan memproses ijin mengenai merger tersebut, baik dari pengawas pasar modal dan pengawas perbankan.
"Tentunya proses itu diharapkan bisa lebih cepat dilakukan. Dokumen-dokumen nanti kalau sudah disampaikan dan memenuhi persyaratan akan terus proses secara cepat supaya penggabungan di bulan Februari diharapkan bisa terjadi, mulus jalannya," kata Heru Kristiyana, dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Kamis (15/10/2020).
Heru menilai, kebijakan merger bank syariah BUMN ini diharapkan bisa meningkatan skala usaha, juga akan meningkatkan daya saing. Dari sisi aset, bila ketiga bank ini digabung akan mencapai Rp 214 triliun dan masuk kelompok Bank BUKU III.
"Bank ini akan mencapai aset Rp 214 tilriun, kolaborasi 3 bank ini akan membuat bank hasll merrger bisa meningkatkan pelayanan, sangat besar, dengan potensi pasar penduduk mulsim, bank ini besar dan efisien," katanya melanjutkan.
Saat ini OJK belum mendapat informasi nama dari bank yang akan di-merger tersebut. Sempat beredar kabar, nama yang mengemuka bank ini adalah Bank Amanah.
"Saya belum dapat info nama apa tapi saya inginkan bukan nama dari satu dari 3 bank itu, agar memberi pesan bank ini adalah hasil kolaborasi dan salah satu dari mereka ga ada yg dirugikan dan ga ada yang dimatikan," ujarnya.
Heru juga menjelaskan mengapa dalam merger ini ditetapkan BRIS sebagai bank penerima merger alias survivor entity. Padahal dari segi aset, per Agustus 2020, BSM memang paling besar dengan mencatatkan aset Rp 112,1 triliun, BNI Syariah Rp 49,97 triliun, dan BRIS Rp 51,8 triliun.
"Kenapa BRIS jadi survivor, karena nanti diharapkan bank hasil merger ini langsung berstatus Tbk (perusahaan publik), dan dari 3 bank syariah itu kan cuma BRIS yang Tbk," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana, dalam program Power Lunch CNBC Indonesia TV, bersama Anneke Wijaya, Kamis (15/10/2020).
"Cuma saya ingin sampaikan bank hasil merger ini namanya lain, nama yang dipilih bukan nama satu dari tiga [bank syariah] itu," tegasnya.
Dia mengatakan, OJK mengapresiasi langkah Kementerian BUMN yang melakukan merger bank Himbara (Himpunan Bank-bank Milik Negara) syariahnya. Hal ini memang sesuai dengan keinginan OJK yang berharap agar bank-bank bisa melakukan konsolidasi baik merger maupun akuisisi.
"Karena dengan konsolidasi, tentu akan meningkatkan skala usaha, juga akan meningkatkan daya saing, tentu bank besar [hasil dari merger] ini akan lebih efisien dalam operasional. Bank skala besar dan efisien bisa memberikan pelayanan yang baik, pada akhirnya memberikan kontribusi besar bagi ekonomi," katanya.
Ketika ditanya apakah bank hasil merger bernama Bank Amanah, Heru hanya menyampaikan pihaknya belum menerima informasi, termasuk soal skema jelas dari merger tersebut.
"Saya belum dapat info soal itu [Bank Amanah], nama apa [belum tahu], tapi saya inginkan tentu namanya bukan nama dari satu dari 3 bank itu, agar memberi pesan bahwa bank ini adalah hasil kolaborasi dan salah satu dari mereka ga ada yang dirugikan dan ga ada yang dimatikan."
Heru juga menegaskan merger tiga bank syariah pelat merah ditargetkan akan selesai pada Februari tahun depan.
Ketiga pemegang saham dari tiga bank syariah BUMN itu yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), telah menandatangani perjanjian bersyarat Conditional Merger Agreement (CMA) terkait dengan rencana merger.
Setelah itu, tahapan selanjutnya OJK akan memproses izin mengenai merger tersebut, baik dari pengawas pasar modal dan pengawas perbankan.
"Tentunya proses itu diharapkan bisa lebih cepat dilakukan. Dokumen-dokumen nanti kalau sudah disampaikan dan memenuhi persyaratan akan terus proses secara cepat supaya penggabungan di bulan Februari diharapkan bisa terjadi, mulus jalannya," kata Heru.
"Bank ini akan mencapai aset Rp 214 triliun, kolaborasi 3 bank ini akan membuat bank hasil merger bisa meningkatkan pelayanan, sangat besar, dengan potensi pasar penduduk Muslim, bank ini besar dan efisien," katanya melanjutkan.
Pada kesempatan yang sama, Heru juga menyampaikan akan terjadi konsolidasi menjelang akhir tahun ini. Pasalnya banyak bank BUKU I dengan modal inti senilai Rp 100 miliar sampai Rp 1 triliun melakukan merger untuk memenuhi ketentuan modal minimum Rp 1 triliun di tahun ini dan Rp 3 triliun pada 2022 nanti.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana menyampaikan, ke depannya bank akan membutuhkan permodalan yang lebih besar, oleh sebab itu, konsolidasi atau merger akan menjadi tren.
"Karena mereka sadar, layanan perbankan skala besar efisien, berdaya saing tentu akan menjadi seluruh harapan nasabah, nasabah dilayanani efisien, apalagi dia siapkan teknologi canggih, digital," kata Heru, kepada CNBC Indonesia, Kamis (15/10/2020).
Saat ini, menurut OJK, sebagian bank sudah menyampaikan rencana bisnis dan mereka sanggup untuk memenuhi aturan modal inti Rp 1 triliun di tahun ini.
"Terhadap beberapa bank yang ingin ke sana sebagian mencari partner dan sudah dalam masa bernegosiasi, kita harapkan pada waktunya akan mencapai kesepakatan," ujarnya.
Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) I atau bank dengan modal inti senilai Rp 100 miliar sampai Rp 1 triliun memiliki waktu hanya sekitar 2 bulan untuk menambah modal guna memenuhi ketentuan modal inti minimum bank umum tahun ini yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Berdasarkan data OJK, hingga Desember 2018 ada 115 bank umum. Komposisinya, ada lima bank kategori BUKU IV (modal inti di atas Rp 30 triliun) di Indonesia dan menguasai 51,03% aset perbankan.
Kemudian, bank BUKU III (modal inti antara Rp 5 triliun-Rp 30 triliun) ada 28 bank dengan penguasaan aset 35,23%.
Adapun bank BUKU II (modal inti antara Rp 1 triliun-Rp 5 triliun) sebanyak 59 bank dengan pangsa aset 12,65%.
Sementara itu, untuk bank BUKU I ada sebanyak 22 bank dan penguasaan aset hanya 1,08%. Artinya, minimal ada 22 bank yang terancam turun kelas jadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bila tak menambah modal.
Sebab itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedari awal hingga saat ini jelang tahun 2020 berakhir, terus mendorong konsolidasi perbankan tanah air (merger dan akuisisi) guna memperkuat perbankan nasional.
"Bagaimana dengan bank yang belum bisa capai permodalan, tentunya kita harapkan mereka mencari partner untuk bisa memperkuat diri, atau pemilik menambah modal," tandas Heru.
(hps/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article OJK Belum Tentu Kasih Izin BBRI & BBNI Cabut dari BRIS