BI Klaim Rupiah Masih 'Kemurahan', Beneran?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 October 2020 12:48
Penukaran Uang Kusam
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam tiga hari terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung melemah. Namun Bank Indonesia (BI) meyakini rupiah masih punya ruang untuk menguat karena level saat ini terlalu murah (undervalued).

Pada Rabu (14/10/2020) pukul 11:30 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.722. Rupiah melemah 0,29% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Sejak 12 Oktober, rupiah kesulitan menembus zona hijau. Kemarin, rupiah ditutup stagnan di Rp 14.680 sedangkan hari sebelumnya melemah tipis 0,03%.

Rupiah juga baru saja menjalani periode yang sulit pada kuartal III-2020. Kala itu, mata uang Tanah Air melemah 4,65% dan menjadi yang terlemah di Asia.

Nah, depresiasi yang sudah tajam itu membuat rupiah punya ruang untuk mencatatkan technical rebound. Rupiah yang sudah kemurahan membuatnya kembali menarik di mata investor.

"Ke depan, Bank Indonesia memandang penguatan nilai tukar rupiah berpotensi berlanjut seiring levelnya yang secara fundamental masih undervalued," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi September 2020, kemarin.

Selain karena faktor technical rebound, potensi penguatan rupiah juga didukung oleh dinamika perekonomian nasional. BI memperkirakan transaksi berjalan mencatat surplus pada kuartal III-2020. Jika terwujud, maka akan menjadi surplus pertama sejak 2011.


Transaksi berjalan mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini lebih berjangka panjang, tidak mudah keluar-masuk seperti investasi portofolio di sektor keuangan. Dengan pasokan valas yang mumpuni, seharusnya menjadi pijakan bagi rupiah untuk menanjak.

Kemudian, inflasi domestik juga 'jinak'. Pada September 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi sebesar 1,42% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Hingga akhir tahun, BI memperkirakan inflasi sepanjang 2020 akan lebih rendah dari batas bawah kisaran 2-4%.

Lalu, berinvestasi di aset-aset keuangan Indonesia pun masih menarik. Misalnya di obligasi pemerintah.

Saat ini, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun adalah 6,874%. Dengan inflasi 1,42%, maka keuntungan riil yang didapat investor adalah 5,454%. Lumayan menggiurkan, apalagi kalau dibandingkan negara-negara sekelompok (peers).

Yield obligasi pemerintah India tenor 10 tahun adalah 5,897% dan inflasi September mencapai 7,43% YoY. Jadi keuntungan riil berinvestasi di instrumen ini adalah -1,533%, bukannya untung malah buntung.

Kemudian misalnya Turki. Yield surat utang pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk yang tenor 10 tahun adalah 13,17%, jauh lebih tinggi ketimbang Indonesia. Namun inflasi di sana mencapai 11,75% YoY per September 2020. Jadi keuntungan riil yang diterima investor hanya 1,42%, jauh di bawah Indonesia.

Daya tarik investasi Indonesia yang tinggi akan membuat arus modal asing tetap berdatangan. Per 12 Oktober, nilai kepemilikan asing di Surat Berharga Negara adalah Rp 940,38 triliun. Naik Rp 7,23 triliun dibandingkan posisi akhir bulan lalu.

Akan tetapi, risiko pelemahan rupiah lebih lanjut juga tidak tertutup sama sekali. Fitch Solutions dan Bank Dunia sama-sama memperkirakan kurs rupiah terhadap dolar AS pada akhir 2020 berada di Rp 15.000/US$.

Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, menilai ke depan ketidakpastian yang mengiringi gerak rupiah masih akan tinggi. Setidaknya ada empat hal yang menjadi sumber ketidakpastian tersebut.

"Pertama adalah pengesahan omnibus law (UU Cipta Kerja) yang melahirkan penolakan. Kedua adalah kemungkinan perubahan UU BI yang bisa mengubah mandat dan operasional bank sentral. Ketiga adalah kapan waktu puncak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) di Indonesia. Keempat adalah pemilihan presiden (pilpres) AS," papar Kevin dalam risetnya.

Radhika Rao, Ekonom DBS, menyatakan bahwa pengesahan UU Cipta Kerja memang membawa dampak positif bagi rupiah. Namun itu ternyata hanya bertahan sebentar. Ke depan, ketidakpastian masih akan tinggi.

"Obligasi pemerintah Indonesia memang masih mendatangkan permintaan yang besar. Namun permintaan itu masih didorong oleh BI sendiri, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) turun dari 36,8% pada Januari 2020 menjadi 28% pada September 2020," tulis Rao dalam risetnya.

Secara fundamental, boleh saja BI menyebut rupiah masih terlalu murah sehingga punya ruang untuk menguat. Namun bukan berarti risiko depresiasi tidak ada.

Hati-hati, rupiah!

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Dolar AS Balas Dendam, Rupiah Dibikin KO Hari Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular