Internasional

Dokumen Bocor, Raksasa Properti China Terancam Gagal Bayar

Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
07 October 2020 11:39
Kondisi terkini kota Wuhan usai Lockdown dicabut. (AP/Ng Han Guan)
Foto: Kondisi terkini kota Wuhan usai Lockdown dicabut. (AP/Ng Han Guan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kesulitan yang keuangan yang dialami perusahaan properti ternyata tak hanya terjadi di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, raksasa properti asal Tiongkok, China Evergrande, sedang mengalami hal yang sama dan memicu kekhawatiran investor.

Belakang, bocor sebuah dokumen mengenai arus kas China Evergrande, pengembang dengan penjualan terbesar kedua di China, membuat investor menyoroti kekhawatiran aliran likuiditas.

Sebenarnya di China, harga properti China rebound dengan cepat karena ekonomi dibuka kembali setelah pandemi terburuk berlalu. Namun, otoritas keuangan China memperketat kredit bagi pengembang, dengan membatasi rasio utang mereka dalam kaitannya dengan arus kas, aset, dan tingkat modal mereka.

Para analis memperingatkan bahwa hal itu juga meningkatkan tekanan pada kemampuan pengembang untuk melunasi utangnya di pasar obligasi hingga 2021.

China Evergrande adalah salah satu penerbit obligasi sampah (junk bond) terbesar di Asia, dengan total US$ 46,23 miliar atau Rp 689 triliun (kurs Rop 14.900/US$) yang diterbitkan tahun lalu - dua kali lipat dari tahun 2018, menurut data Refinitiv.

Mendapat peringkat junk bond, di mana status obligasi ini memiliki risiko gagal bayar tinggi, dan oleh karena itu, biasanya memberikan suku bunga yang lebih tinggi untuk mengkompensasi risiko tersebut.

Dokumen yang bocor menunjukkan bahwa China Evergrande telah mencari bantuan dari pemerintah karena kemungkinan krisis uang.

Namun perusahaan itu membantah tuduhan dalam dokumen tersebut.

Di sisi lain, perusahaan pemeringkat S&P Global Ratings menurunkan peringkat China Evergrande menjadi "negatif" dari "stabil", menjelaskan bahwa likuiditasnya memang melemah.

"Kami merevisi prospek menjadi negatif karena utang jangka pendek Evergrande terus melonjak, sebagian karena akuisisi aktif proyek properti. Kami sebelumnya mengharapkan perusahaan untuk mengatasi utang jangka pendeknya, terutama mengingat iklim ekonomi yang sulit," kata lembaga pemeringkat tersebut.

"Dalam pandangan kami, Evergrande menghadapi tantangan yang semakin besar untuk meningkatkan likuiditasnya karena besarnya utangnya," tambah S&P.

Pada 30 Juni, perusahaan memiliki utang jangka pendek sebesar 396 miliar yuan (US$ 58 miliar), sebagian karena peningkatan akuisisi tanah dan proyek karena peluang muncul selama pandemi, kata perusahaan pemeringkat itu.

Miliaran dolar utang jatuh tempo

Dalam catatan baru-baru ini, Riset ANZ mengatakan insiden Evergrande, meskipun belum diverifikasi, telah "meningkatkan kekhawatiran pasar" tentang kondisi arus kas dan rasio leverage pengembang China.

Langkah pemerintah China yang bakal memperkenalkan aturan yang akan memaksa perusahaan membatasi utang mereka, dapat menimbulkan lebih banyak masalah bagi mereka, kata riset ANZ Research.

"Insiden tersebut menimbulkan risiko bagi pasar properti China di kuartal mendatang," tulis ANZ, mengacu pada China Evergrande.

"Kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan lebih banyak pengembang menghadapi tantangan selama proses deleveraging."

Pengembang properti China dapat menghadapi tekanan pembayaran obligasi yang meningkat tahun depan, menurut analis ANZ.

Potensi obligasi

Riset ANZ juga menunjukkan bahwa 526 miliar yuan (US$ 77,46 miliar) obligasi dalam negeri akan jatuh tempo pada tahun 2021, 16% lebih tinggi dari yang jatuh tempo tahun ini.

Sementara itu, sekitar US$ 50 miliar obligasi dolar luar negeri juga akan jatuh tempo tahun depan, atau 47% lebih banyak dari tahun ini.

Dengan demikian ada puluhan miliar dolar obligasi akan jatuh tempo tahun depan.

Analis memperingatkan bahwa di tengah kondisi pembiayaan yang ketat seperti itu, pengembang yang perlu menerbitkan kembali obligasi untuk mengumpulkan uang tunai mungkin menghadapi kendala.

"Peraturan baru dapat membatasi kemampuan pengembang untuk mengembalikan utang mereka, memicu permintaan uang tunai dan mengurangi aktivitas investasi properti," kata catatan Riset ANZ.


(hps/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Juragan Lahan Jabodetabek, Agung Podomoro atau Summarecon?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular