Ini adalah tahun pandemi. Ekonomi berbagai negara terkontraksi, sehingga banyak negara yang jatuh dalam resesi karena pertumbuhan ekonomi minus dua kuartal berturut-turut. Ketika ekonomi tertekan, emiten pun berusaha bertahan. Salah satunya dengan menambah modal.
Dalam khasanah pasar modal, penambahan modal dan likuiditas bisa dilakukan dengan menarik utang (perbankan atau lembaga keuangan lainnya), menerbitkan surat utang, atau mencari pendanaan berbasis ekuitas. Semuanya merupakan dana mahal, karena memiliki cost of fund.
Opsi pendanaan dan atau penambahan modal yang paling murah adalah melalui rights issue, karena cost of fund-nya yang paling kecil karena tidak memerlukan jasa penjamin emisi (underwriter), kecuali membayar jasa konsultan (itu pun jika diperlukan).
Oleh karenanya, di situasi pandemi, rights issue merupakan pilihan yang rasional dan wajar bagi Bank Banten untuk menambah permodalan. Pasalnya, permodalan perseroan tergerus akibat kerugian 2019, yang bahkan belum memasukkan efek pandemi. Suntikan modal pun krusial.
 Sumber: Laporan Keuangan |
Hanya saja, harga saham perseroan di pasar saat ini berada di level terbawah yang boleh diperdagangkan, yakni Rp 50 per unit. Menurut Peraturan Bursa Nomor I A Ketentuan V, harga pelaksanaan saham tambahan dalam rights issue tidak boleh lebih kecil dari level tersebut.
Oleh karenanya, RSS membuat harga saham perseroan menjadi meningkat, menjadi Rp 500/unit, dan terhitung premium karena kian sesuai dengan harga wajarnya, sebagaimana dihitung oleh perusahaan penilai KKJP Maulana, Andesta, dan Rekan.
Selanjutnya, rights issue (PUT) VI akan membuat nilai valuasi (price to book value/PBV) saham BEKS mengalami normalisasi atau menurun dari sebelum rights issue di angka 6,19 kali menjadi 0,96 kali-1,79 kali pasca rights issue. Semakin kecil rasio PBV semakin menarik pula saham tersebut.
"Nilai ini dinilai positif, karena mendekati PBV industri di angka 1,32 kali-1,72 kali," demikian tulis manajemen Bank Banten dalam pernyataan resmi. Saat ini, nilai PBV saham BEKS berada di level 7,12 kali.
Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat dipahami jika Bank Banten perlu melakukan RSS karena perusahaan mengalami tekanan keuangan, sehingga perlu injeksi modal melalui right issue untuk memperbaiki posisi keuangan agar bisa berekspansi ke depannya.
Di luar itu, harga saham yang lebih tinggi bakal menguntungkan publik pemegang saham juga pada akhirnya, karena nantinya saham BEKS berpeluang dilirik perusahaan manajer investasi (MI) dan institusi pengelola dana (private equty fund).
Pasalnya, investor institusi pada umumnya memiliki kebijakan membeli saham yang harganya masih rasional, dan bukan saham gocap di level terendah yang bisa diperdagangkan di bursa. Hal ini berpeluang mendongkrak likuiditas saham BEKS ke depannya.
Sebenarnya Bank Banten tidaklah sendiri. Di Indonesia, secara bersamaan, ada emiten lain yang juga melakukan skema serupa yakni RSS yang dikombinasikan dengan rights issue, yakni PT Mitra Investindo Tbk (MITI), perusahaan migas yang sahamnya juga dipegang Saratoga lewat Interra Resources.
Bedanya, aksi korporasi MITI berpeluang berujung pada backdoor listing atau masuknya pemegang saham baru yakni PT Prime Asia Capital dalam rangka mengubah entitas bisnisnya menjadi perusahaan yang tercatat di bursa. Hal ini tidak terjadi di BEKS karena pemegang saham pengendalinya tetap sama.
Jika kita melihat pada bursa saham Amerika Serikat (AS), atau Wall Street, kita justru bakal menemukan fenomena bahwa RSS ternyata kian marak dijalankan sepanjang tahun ini. Gelombang terbesar aksi korporasi tersebut terutama terjadi setelah pandemi.
Menurut penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, ada 214 emiten yang melakukan RSS dalam 2 tahun terakhir. Sebanyak 115 di antaranya dilakukan sepanjang tahun ini, atau melebihi total RSS pada tahun 2019 yang sebanyak 99 emiten. Hanya 15 RSS yang berlangsung pada kuartal I, dan sisanya dilakukan setelah pandemi terjadi.
Jika ditelisik lebih jauh lagi, RSS dengan rasio terbesar tahun ini dilakukan oleh Nabors Industries Ltd (NBR) yakni sebesar 1:50. Artinya, investor pemegang 50 unit saham perseroan mendapati jumlah sahamnya berubah menjadi 1 unit setelah aksi korporasi tersebut tuntas.
Nabors adalah emiten jasa migas, dengan menjadi kontraktor pengeboran dan perawatan sumur bor. Usai melakukan RSS, harga saham perseroan menjadi US$ 10,27 per unit (22 April), dan kemarin bertengger di level US$ 25,14 atau menguat 144,8% dalam 5 bulan.
Penguatan harga saham perseroan terjadi bersamaan dengan pulihnya harga minyak mentah dunia, yang sempat anjlok ke level US$ 16,5 per barel pada 23 April dan kini bercokol di level US$ 38,93 per barel. Artinya, RSS tak selalu berakhir buruk selama kondisi fundamental kuat.
Lebih jauh ke belakang, perusahaan korporasi global Motorola Solution Inc. (MSI) tercatat pernah melakukan RSS pada 4 Januari 2011, dengan rasio 1:7. Artinya, pemegang saham mendapatkan 1 unit saham sebagai ganti untuk tiap 7 unit saham yang sebelumnya dia miliki.
Hasilnya? harga saham perseroan konsisten melambung. Usai RSS, harga saham MSI sebesar US$ 39,77 per unit (5/1/2011), lalu naik ke US$ 46,29 setahun kemudian. Pada perdagangan kemarin, harga saham berkode MSI tersebut mencapai US$ 157,65 atau melesat 296,4%.
Mengacu pada data Revinitif, kenaikan saham MSI itu per tahun mencapai 18,5% per tahun atau nyaris 20%. Artinya, RSS tak selalu berakhir dengan koreksi saham selama emiten menggunakan aksi korporasi tersebut untuk memupuk modal dan kinerja fundamentalnya.
Di Indonesia, studi terhadap 36 perusahaan yang melakukan reverse stock dari tahun 2000 menunjukkan bahwa RSS hanya berdampak negatif pada periode awal, maksimal selama 1 tahun pasca aksi korporasi tersebut.
Yang menarik, kinerja saham perusahaan yang melakukan RSS tersebut naik setelah 3 tahun-5 tahun kemudian, dengan peningkatan rata-rata 35 45 % (setelah 3 tahun) dan 55,05% (setelah 5 tahun). Kenaikan terjadi mengikuti kinerja fundamentalnya.
Khusus untuk saham emiten yang melakukan RSS sepaket dengan right issue, kinerja sahamnya justru pulih lebih cepat, dalam kurun waktu 3 bulan pasca rights issue dengan peningkatan rata-rata di atas 10%.
Jika mengacu pada data tersebut, maka terbuka peluang saham BEKS pun bakal mencatatkan performa positif, mengingat dua aksi korporasi tersebut seperti obat, terutama di tengah pandemi, yang memperkuat kinerja fundamentalnya.
Cepat atau lambat kinerja positif itu semestinya bakal tercermin di harga saham.
TIM RISET CNBC INDONESIA