
Asing Ramai-ramai Jual Saham Bank RI, Ini Biang Keroknya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham bank-bank papan atas dan BUMN di Tanah Air ramai dilepas asing pada perdagangan sesi I, Rabu ini (30/9/2020), hari terakhir perdagangan saham di bulan September.
Data perdagangan mencatat, di sesi I hari ini, harga saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) terkoreksi paling dalam yakni 3,05% ke Rp 4.920/saham. Net sell BRMI tercatat sebesar Rp 95,90 miliar.
Berikutnya, penurunan saham diikuti oleh saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang turun 2,44% ke Rp 4.400/saham dan saham PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) yang turun 1,67% ke Rp 1.175/saham.
Net sell saham BBNI mencapai Rp 15,89 miliar, sementara BBTN sebesar Rp 2,76 miliar.
Tak ketinggalan saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) juga koreksi 0,99% ke Rp 3.010/saham diikuti kemudian oleh saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 0,91% ke Rp 27.275/saham.
Net sell saham BBRI mencapai Rp 52,16 miiar, sementara saham BBCA yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar di BEI (Rp 672 triliun) mengalami net sell Rp 23,71 miliar.
Pelemahan ini terjadi di tengah sentimen positif pemerintah kembali menitipkan dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara), yakni 4 bank BUMN yang disebutkan di atas kecuali BCA yang berstatus bank swasta milik Grup Djarum.
Kali ini dana ditambahkan pada Tahap II ini sebesar Rp 17,5 triliun setelah pada tahap I ditempatkan Rp 30 triliun.
"Tenor untuk 4 Bank Himbara 110 hari atau 3 bulan + 20 hari karena mempertimbangkan kondisi akhir tahun 2020 dan cuti bersama," kata Rahayu Puspasari, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan," kepada CNBC Indonesia.
Menurut analis Phillip Sekuritas Anugerah Zamzami Nasr, sentimen negatif justru atas saham-saham bank papan atas justru disebabkan karena adanya kekhawatiran debt monetization oleh Bank Indonesia (BI) dengan skema burden sharing untuk membiayai defisit anggaran pemerintah.
Hal ini ditakutkan investor bisa menjadi norma baru ke depannya.
Burden sharing adalah skema menanggung beban bersama antara pemerintah, yakni Menteri Keuangan sebagai otoritas fiskal, dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan untuk mempercepat PEN karena dampak Covid-19.
Sentimen kurang enak lainnya juga datang dari isu revisi Undang-Undang (UU) tentang BI yang masih mendominasi pasar.
"Kekhawatiran mengenai debt monetization yang bisa saja jadi norma baru ke depan, juga RUU mandat BI lebih mendominasi nampaknya saat ini," kata dia kepada CNBC Indonesia, Rabu (30/9/2020).
Dia mengungkapkan, kedua sentimen ini membuat asing cenderung terus mengurangi kepemilikannya di pasar saham dalam negeri, khususnya untuk saham-saham yang likuid dan berkapitalisasi besar.
"Di IHSG, saham-saham yang berkapitalisasi besar dan liquid biasanya yang jadi proxy terdekat pada indeks jadi pilihan dilepas dan saham-saham perbankan di kategori ini," terangnya.
Adapun revisi UU Bank Indonesia yang berpotensi menghilangkan independen bank sentral serta pengalihan pengawasan industri keuangan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke BI membuat dana asing deras keluar dari pasar keuangan Indonesia.
Di sisi lain, Kepala Riset PT Samuel Sekuritas Suria Dharma, menilai seharusnya penempatan dana pemerintah kepada bank-bank BUMN tersebut menjadi sentimen positif bagi saham empat bank tersebut.
"Positifnya penempatan dana tersebut karena bisa membantu pertumbuhan kredit. Itu diperkirakan bisa create kredit Rp 52,5 triliun atau sekitar 1% loan growth industri," kata Suria kepada CNCB Indonesia, saat dihubungi Rabu (30/9/2020).
Suria menilai, tekanan jual asing pada saham bank-bank pelat merah tersebut bukan karena penempatan dana tersebut. Namun ada masalah lebih besar yang sedang menjadi perhatian investor.
"Asing jual itu merata di berbagai sektor. Biasa kalau asing keluar, yang pertama tertekan biasanya 4 big banks juga. Penyebab utamanya untuk dalam negeri adalah masih meningkatnya kasus Covid 19 terutama di DKI yang menyebabkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diperketat. Padahal besok sudah masuk kuartal 4," jelas Suria.
Pengetatan kebijakan PSBB bisa menekan perekonomian di kuartal IV, padahal tadinya sudah mulai pulih saat PSBB dilonggarkan.
Sementara itu, sentimen dari luar negeri yang membuat investor khawatir adalah, stimulus fiskal Amerika Serikat masih belum disepakati, padahal minggu depan Kongres AS sudah masuk periode reses selama sebulan.
"Ini menyebabkan USD Index menguat dan dana banyak yang kembali kesana karena USD menjadi lebih langka," tambahnya.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Asing Masih Jauhi Saham Big Bank Pada Pekan Pertama 2025