Rupiah Melemah 3 Hari Beruntun, Juara 3 (Terburuk) di Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 September 2020 16:32
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (24/9/2020), melanjutkan kinerja negatif 2 hari sebelumnya. Itu artinya hingga hari ini rupiah sudah hat-trick alias melemah 3 hari beruntun. Dolar AS memang sedang perkasa dalam beberapa hari terakhir, terbukti mayoritas mata uang utama Asia juga rontok pada hari ini.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di level Rp 14.780/US$, tetapi tidak lama langsung melemah hingga 0,47% ke Rp 14.850/US$.

Posisi rupiah sedikit membaik di akhir perdagangan berada di level Rp 14.845/US$.

Melihat kinerja mata uang utama Asia lainnya, hanya peso Filipina dan yen Jepang yang menguat melawan dolar AS, itu pun sangat tipis. Hingga pukul 15:18 WIB, dolar Taiwan menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,65%, disusul rupee India 0,48%. Rupiah berada di urutan ketiga mata uang terburuk Asia.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning.

Sentimen pelaku pasar yang memburuk membebani rupiah pada hari ini. Kala sentimen sedang memburuk, aset-aset emerging market seperti rupiah akan kalah bersaing dengan aset negara maju seperti dolar AS.

Memburuknya sentimen pelaku pasar tercermin dari merosotnya bursa saham global. Bursa saham AS (Wall Street) mengawali perdagangan Rabu waktu setempat di zona hijau, tetapi di akhir perdagangan justru kembali ambrol. Aksi jual di sektor teknologi kembali menjadi pemicu merosotnya bursa dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia ini.

Ambrolnya kiblat busa saham dunia tersebut diikuti bursa saham Asia hari ini rupiah pun terpukul. Tidak hanya bursa saham, emas yang merupakan aset safe haven juga ikut merosot. Hal tersebut menunjukkan sentimen pelaku pasar memang sedang buruk pada hari ini.

Perubahan outlook suku bunga di AS memicu penguatan the greenback. Hal ini bermula dari pernyataan Charles Evans, Presiden The Fed Chicago. 

Berbicara lewat daring di acara Official Monetary dan Financial Institution Forum, Evans mengatakan ekonomi AS berisiko dalam jangka panjang, mengalami pemulihan yang lambat, dan tidak bisa langsung keluar dari resesi tanpa bantuan stimulus fiskal. Evans juga melihat open-ended program pembelian aset The Fed (quantitative easing/QE) mampu menyediakan bagian penting untuk pemulihan ekonomi.

"Pernyataan Evans sangat hawkish. Ia menyebutkan QE dan menaikkan suku bunga sebelum target inflasi tercapai. Hal tersebut mengejutkan pasar," kata Edward Moya, analis pasar senior di Oanda New York, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (22/9/2020).

"Segera setelah kita berhasil mengatasi virus corona, anda akan melihat ekspektasi kenaikan suku bunga meningkat, dan seharusnya membuat dolar terus menguat," tambahnya.

Evans bukan merupakan anggota komite pembuat kebijakan moneter (Federal Open Market Committee/FOMC) di tahun ini, sehingga ia tak memiliki suara dalam memutuskan suku bunga. Tetapi pada tahun depan ia akan menjadi anggota FOMC, sehingga pasar melihat ada kemungkinan suku bunga akan naik sebelum 2023.

Ketika suku bunga dinaikkan, maka era penguatan emas bisa jadi akan berakhir, sebab suku bunga rendah serta kebijakan moneter ultra longgar merupakan bahan bakar utama emas untuk terbang tinggi. Apalagi, dolar AS juga akan menguat seandainya suku bunga dinaikkan.

Indeks dolar AS kemarin membukukan penguatan 0,43% ke 94,39 dan berada di level tertinggi sejak 27 Juli. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut juga sudah membukukan penguatan 3 hari beruntun, dengan total 1,58%.

Sementara hingga tengah hari ini, indeks dolar AS menguat tipis 0,05%

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular