Tak Ada Kejutan dari Perry, IHSG Terima Nasib Ditutup Merah

Tri Putra, CNBC Indonesia
17 September 2020 15:21
Laju bursa saham domestik langsung tertekan dalam pada perdagangan hari ini, Kamis (10/9/2020) usai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumumkan akan memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai Senin pekan depan.

Sontak, investor di pasar saham bereaksi negatif. Indeks Harga Saham Gabungan anjlok lebih dari 4% ke level 4.920,61 poin. Investor asing mencatatkan aksi jual bersih Rp 430,47 miliar sampai dengan pukul 10.18 WIB.  (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Kamis (17/9/20) ditutup anjlok 0,40% di level 5.038,40 setelah keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan.

Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi jual bersih sebanyak Rp 445 miliar di pasar reguler hari ini dengan nilai transaksi hari ini menyentuh Rp 6,6 triliun.

Saham yang paling banyak dilego asing hari ini adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan jual bersih sebesar Rp 303 miliar dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang mencatatkan net sell sebesar Rp 104 miliar.

Sementara itu saham yang paling banyak dikoleksi asing hari ini adalah PT Astra Internasional Tbk (ASII) dengan beli bersih sebesar Rp 57 miliar dan PT Telekomunikasi Indoneisa Tbk (TLKM) dengan net buy sebesar Rp 58 miliar.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 16-17 September 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di posisi 4%.

Dewan Gubernur BI yang dipimpin oleh Perry Warjiyo sebagai Gubernur menilai langkah tersebut masih konsisten untuk mendorong pemulihan ekonomi di masa pandemi COVID-19.

Hal ini juga sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dimana hasilnya suku bunga acuan tetap bertahan di 4% dalam RDG bulan ini. Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tidak ada yang menyatakan lain, tidak ada dissenting opinion.

Meskipun sudah sesuai ekspektasi para pelaku pasar, tentunya investor kecewa terhadap keputusan BI ini, sebab Indonesia kini berada di ujung jurang resesi dengan masalah daya beli masyarakat.

Masalah daya beli ini salah satunya ditunjukkan dengan data Indonesia mengalami deflasi selama dua bulan berturut-turut, yaitu sebesar -0,10% pada Juli dan sebesar -0,05% pada Agustus 2020. Meski secara keseluruhan BI memperkirakan inflasi 2020 dan 2021 akan terkendali dalam sasaran 3% plus minus 1%.

Pasar sangat berharap akan adanya kejutan dari BI karena ketika suku bunga (terutama kredit perbankan) murah, maka rumah tangga dan dunia usaha akan tertarik untuk mengakses kredit. 'Darah' dari perbankan ini menjadi bekal untuk melakukan ekspansi.

Supaya suku bunga perbankan turun, ada baiknya dipelopori oleh suku bunga acuan. Penurunan suku bunga acuan akan mempengaruhi suku bunga di Pasar Uang Antar-Bank (PUAB), dan kemudian suku bunga simpanan, lalu akhirnya ke suku bunga kredit.

Saat beban pengusaha berkurang karena kredit yang murah, maka ekspansi bisa dilakukan. Ekspansi usaha berarti penciptaan lapangan kerja, pengurangan pengangguran, dan pengentasan kemiskinan. Indonesia bisa cepat mentas dari 'lumpur' resesi sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Meskipun begitu, Perry juga menggarisbawahi bakal melanjutkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif. Hal ini dilakukan karena masih rendahnya penyaluran kredit perbankan.

Selanjutnya bursa di kawasan Asia terpantau merah, Nikkei di Jepang terdepresiasi 0,67%,Hang Seng Index di Hong Kong turun 1,56%, sedangkan Indeks STI di Singapura anjlok 0,13%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular