Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar euro menguat melawan rupiah dan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (16/9/2020). Mata uang 19 negara ini menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di tahun ini, sebabnya perekonomian di Benua Biru diramal akan lebih cepat pulih dari resesi akibat pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), ketimbang Amerika Serikat.
Pada pukul 16:31 WIB euro menguat 0,12% melawan rupiah ke Rp 17.592,83/EUR, sementara melawan dolar AS menguat 0,19% ke Rp US$ 1,1867.
Sepanjang tahun ini, euro sudah menguat 5,86% melawan dolar AS. Sementara melawan rupiah, euro lebih garang lagi, melesat 13,07%.
Euro diprediksi masih akan menguat hingga akhir tahun ini, khususnya melawan dolar AS. Ketika dolar AS saja takluk di hadapan euro, apalagi rupiah.
National Australia Bank (NAB) memprediksi di akhir 2020 euro berada di level US$ 1,2300. Artinya dari posisi saat ini, euro masih akan menguat sekitar 3,65%.
Sementara Westpac Bank memprediksi euro berada di US$ 1,2200 akhir tahun nanti, artinya masih akan menguat 2,81%.
Pada Selasa (1/9/2020) lalu, euro menyentuh level US$ 1,2000 melawan dolar AS. Kali terakhir euro menyentuh US$ 1,2000 pada awal Mei 2018, artinya posisi tersebut merupakan yang tertinggi dalam lebih dari 2 tahun terakhir.
Setelah mencapai level tersebut, euro mulai berbalik melemah akibat "dicolek" oleh ekonom European Central Bank (ECB) Philip Lane. Selasa lalu, ketika kurs euro menyentuh level US$ 1,2000, Lane mengatakan nilai tukar euro-dolar AS "penting" dalam menentukan kebijakan moneter.
Pernyataan tersebut menjadi indikasi ECB kemungkinan akan bertindak untuk meredam penguatan euro.
Tetapi nyatanya, saat mengumumkan kebijakan moneter, ECB nyaris tidak melakukan apapun untuk meredam penguatan euro. Bos ECB, Christine Lagarde, juga tidak terlalu cemas dengan kinerja impresif euro, dan hanya mengatakan akan memantau dengan cermat.
"Dewan Gubernur mendiskusikan apresiasi euro, tapi seperti anda ketahui kami tidak mentargetkan nilai tukar. Tapi kami akan memantau hal tersebut dengan cermat," kata Lagarde.
Bank sentral di bawah komando Christine Lagarde ini mempertahankan suku bunga acuan, main refinancing rate sebesar 0%, lending facility 0,25%, dan deposit facility -0,5%.
Sementara itu stimulus moneter berupa program pembelian obligasi (quantitative easing/QE), atau yang disebut Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP) masih tetap sebesar 1,35 triliun euro (US$ 1,6 triliun).
Produk Domestik Bruto (PDB) zona euro (19 negara pengguna mata yang euro) mengalami kontraksi 14,7% year-on-year (YoY) di kuartal II-2020 lalu. Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah.
Di kuartal sebelumnya, PDB mengalami kontraksi 3,2% YoY, sehingga zona euro sah mengalami resesi.
Selain resesi, blok 19 negara tersebut kini mengalami masalah deflasi. Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Agustus dilaporkan -0,2% YoY turun dari bulan Juli 0,4 YoY. Deflasi tersebut menjadi yang pertama sejak bulan Mei 2016.
Sementara IHK inti yang menjadi fokus ECB merosot menjadi 0,4% YoY dari bulan sebelumnya 1,2%. Berdasarkan data Refiniti IHK inti di bulan Agustus tersebut menjadi yang terendah sepanjang sejarah.
Meski demikian, Lagarde justru mengatakan perekonomian zona euro sudah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan.
"Data sejak terakhir kali kami melakukan rapat kebijakan moneter bulan Juli menunjukkan bangkitnya aktivitas ekonomi secara luas, sejalan dengan ekspektasi kami sebelumnya," kata Lagarde, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (10/9/2020).
Tanda-tanda kebangkitan ekonomi Eropa terlihat jelas dari aktivitas manufaktur yang tercermin dari purchasing managers' indeks (PMI) yang kembali ke atas 50, artinya kembali berekspansi setelah mengalami kontraksi tajam di bulan April lalu.
"Demand dari zona euro mencatat pemulihan yang signifikan dari level terendah, tetapi peningkatan ketidakpastian ekonomi masih membebani belanja konsumen dan investasi bisnis," ujarnya.
Data terbaru menunjukkan PMI Prancis kembali ke bawah 50 di bulan Agustus, tetapi zona euro secara keseluruhan masih berekspansi.
ECB juga terlihat optimistis dengan outlook perekonomian blok 19 negara. Hal ini terlihat dari proyeksi terbaru pertumbuhan ekonomi, di tahun ini diramal -8%. Meski masih terkontraksi, tetapi lebih baik ketimbang proyeksi sebelumnya -8,7%.
Untuk tahun 2021, PDB diramal tumbuh 5%, dan setahun setelahnya tumbuh 3,2%.
Ketika perekonomian mulai tumbuh inflasi juga tentunya berpeluang terkerek naik, hal ini menyebabkan ECB tidak terlalu cemas dengan rendahnya inflasi saat ini, sehingga merasa belum perlu untuk menambah stimulus moneter.
TIM RISET CNBC INDONESIA