Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia ambles sepanjang pekan ini. Langkah Saudi Aramco (perusahaan migas milik negara asal Arab Saudi) yang menurunkan harga jual membuat harga si emas hitam merosot tajam.
Minggu ini, harga minyak jenis brent melorot 6,63% secara point-to-point. Dalam periode yang sama, yang jenis light sweet ambrol 6,13%. Keduanya sudah berada di bawah US$ 40/barel.
Saudi Aramco membuat keputusan yang menggegerkan pasar. Pekan ini, Saudi Aramco mengumumkan harga jual minyak ke Asia untuk pengiriman Oktober diberi diskon US$ 7,3/barel dari rata-rata harga di Oman/Dubai. Lebih tinggi ketimbang diskon yang diberikan pada April yaitu US$ 4,2/barel.
Diskon harga minyak Arab light membuat brent (yang merupakan acuan Eropa) dan light sweet (acuan Amerika Serikat/AS) menjadi kurang menarik. Ini membuat harga brent dan light sweet merosot tajam karena kekurangan peminat.
Selain itu, pelaku pasar juga khawatir dengan prospek pemulihan ekonomi global akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Semakin hari, penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini kian mengerikan.
Per 12 September, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia mencapai 28.600.595 orang. Bertambah 121.730 orang (0,43%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (30 Agustus-12 September), rata-rata pasien baru bertambah 256.009 orang per hari. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 251.997 orang per hari.
Peningkatan jumlah kasus corona membuat sejumlah negara kembali mengetatkan pembatasan sosial (social distancing). Misalnya di Inggris, pemerintah mulai pekan depan melarang warga berkumpul lebih dari enam orang di dalam dan luar ruangan. Bagi yang melanggar, akan dikenakan sanksi denda GBP 100 atau hampir Rp 2 juta dengan kurs saat ini.
"Pengorbanan ini sangat penting untuk mengontrol penyebaran virus. Namun saya berjanji, kebijakan ini tidak akan diterapkan lebih lama dari yang kami perkirakan," kata Matt Hancock, Menteri Kesehatan Inggris, seperti dikutip dari BBC.
 BBC |
Di Indonesia, hawa pengetatan social distancing juga terasa meski tidak seketat dulu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti pada April-Mei. Tidak ada lagi PSBB Transisi, tetapi PSBB total.
Artinya perkantoran non-esensial, restoran, pusat perbelanjaan, rumah ibadah, lokasi wisata, dan sebagainya kembali harus ditutup sementara. Bahkan jam operasional transportasi umum juga akan dibatasi.
 Presentasi Gubernur DKI Anies Baswedan |
Pada Juni lalu, berbagai negara mulai mengendurkan social distancing dan memasuki era reopening. Aktivitas masyarakat yang sempat 'dikunci' kembali dibuka meski bertahap dan harus tunduk kepada protokol kesehatan.
Namun kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang belum optimal membuat reopening berimplikasi terhadap lonjakan jumlah pasien baru. Demi menyelamatkan nyawa, ada kecenderungan reopening berubah menjadi reclosing.
Menyelamatkan nyawa memang prioritas, dan layak dijadikan yang utama. Namun perlu dicatat bahwa upaya menyelamatkan nyawa dengan pembatasan sosial sama dengan membuat aktivitas ekonomi mati suri. Tidak ada pertumbuhan ekonomi (yang ada malah kontraksi), angka pengangguran pun melonjak tajam sehingga merisiko melahirkan keresahan sosial.
Kehadiran kembali social distancing akan membuat proses pemulihan ekonomi menjadi tertunda. Ke depan, sepertinya kontraksi ekonomi masih akan menjadi pemandangan yang lazim.
Ketika aktivitas ekonomi menyusut, maka permintaan energi pun turun. Akibatnya, prospek kenaikan harga minyak menjadi sangat suram.
"Tren kenaikan kasus corona membuat berbagai institusi merevisi ke bawah proyeksi permintaan minyak," kata Bjornar Tonhaugen, Head of Oil Market di Rystad Energy (lembaga riset yang berbasis di Oslo, Norwegia).
US Energy Information Adminstration memperkirakan permintaan minyak tahun ini adalah 8,32 juta barel/hari. Turun 210.000 barel/hari dibandingkan perkiraan sebelumnya. Di tengah permintaan yang lesu, wajar harga minyak terus terpangkas.
TIM RISET CNBC INDONESIA