ECB Tak Ubah Kebijakan Moneter, Ini Aset yang Bakal Melesat

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 September 2020 14:18
Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde (REUTERS/Kevin Lamarque)
Foto: Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde (REUTERS/Kevin Lamarque)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) tak mengubah kebijakannya dalam pengumuman rapat kebijakan moneter Kamis (11/9/2020) kemarin. Padahal banyak analis yang memprediksi akan ada perubahan mengingat perekonomian zona euro yang merosot sementara kurs euro terus menguat.

Bank sentral di bawah komando Christine Lagarde ini mempertahankan suku bunga acuan, main refinancing rate sebesar 0%, lending facility 0,25%, dan deposit facility -0,5%.

Sementara itu stimulus moneter berupa program pembelian obligasi (quantitative easing/QE), atau yang disebut Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP) masih tetap sebesar 1,35 triliun euro (US$ 1,6 triliun).

Produk Domestik Bruto (PDB) zona euro (19 negara pengguna mata yang euro) mengalami kontraksi 14,7% year-on-year (YoY) di kuartal II-2020 lalu. Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah.

Di kuartal sebelumnya, PDB mengalami kontraksi 3,2% YoY, sehingga zona euro sah mengalami resesi.

Selain resesi, blok 19 negara tersebut kini mengalami masalah deflasi. Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Agustus dilaporkan -0,2% YoY turun dari bulan Juli 0,4 YoY. Deflasi tersebut menjadi yang pertama sejak bulan Mei 2016.

Sementara IHK inti yang menjadi fokus ECB merosot menjadi 0,4% YoY dari bulan sebelumnya 1,2%. Berdasarkan data Refiniti IHK inti di bulan Agustus tersebut menjadi yang terendah sepanjang sejarah.

Meski demikian, Lagarde justru mengatakan perekonomian zona euro sudah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan.

"Data sejak terakhir kali kami melakukan rapat kebijakan moneter bulan Juli menunjukkan bangkitnya aktivitas ekonomi secara luas, sejalan dengan ekspektasi kami sebelumnya," kata Lagarde, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (10/9/2020).

"Demand dari zona euro mencatat pemulihan yang signifikan dari level terendah, tetapi peningkatan ketidakpastian ekonomi masih membebani belanja konsumen dan investasi bisnis," ujarnya.

Tanda-tanda kebangkitan ekonomi Eropa terlihat jelas dari aktivitas manufaktur yang tercermin dari purchasing managers' indeks (PMI) yang kembali ke atas 50, artinya kembali berekspansi setelah mengalami kontraksi tajam di bulan April lalu.

Data terbaru menunjukkan PMI Prancis kembali ke bawah 50 di bulan Agustus, tetapi zona euro secara keseluruhan masih berekspansi.

ECB juga terlihat optimistis dengan outlook perekonomian blok 19 negara. Hal ini terlihat dari proyeksi terbaru pertumbuhan ekonomi, di tahun ini diramal -8%. Meski masih terkontraksi, tetapi lebih baik ketimbang proyeksi sebelumnya -8,7%.

Untuk tahun 2021, PDB diramal tumbuh 5%, dan setahun setelahnya tumbuh 3,2%.

Ketika perekonomian mulai tumbuh inflasi juga tentunya berpeluang terkerek naik, hal ini menyebabkan ECB tidak terlalu cemas dengan rendahnya inflasi saat ini, sehingga merasa belum perlu untuk menambah stimulus moneter.

Reuters melaporkan, hingga saat ini dari total 1,35 triliun euro PEPP, yang sudah dikucurkan ECB sebesar 497,9 miliar euro, artinya masih ada sekitar 853 miliar euro yang belum digunakan. Lagarde yang juga mantan direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) menegaskan PEPP tersebut akan digunakan secara penuh untuk memacu perekonomian zona euro.

Sebelum pengumuman tersebut, penguatan euro menjadi sorotan pelaku pasar karena nilainya yang melesat ke level tertinggi dalam lebih dari 2 tahun terakhir. Reuters melaporkan indeks euro bahkan sudah berada di level tertinggi dalam 6 tahun terakhir.

"Penguatan euro sangat luar biasa, dan ECB harus merespon itu," kata Jim Caron, manajer fixed income portofolio di Morgan Stanley Investment Management, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (7/9/2020).

Dalam kondisi normal penguatan kurs euro mungkin tidak akan menjadi masalah, tetapi dalam kondisi ekonomi yang terpuruk tentunya bisa menjadi masalah serius.

Harga produk dari zona euro di pasar internasional tentunya menjadi lebih mahal, sehingga kurang kompetitif. Pemulihan ekonomi akan berjalan lambat, dan inflasi bisa tertahan di level rendah dalam waktu yang lama.

Pada Selasa (1/9/2020) lalu, euro menyentuh level US$ 1,2000 melawan dolar AS. Kali terakhir euro menyentuh US$ 1,2000 pada awal Mei 2018, artinya posisi tersebut merupakan yang tertinggi dalam lebih dari 2 tahun terakhir.

Setelah mencapai level tersebut, euro mulai berbalik melemah akibat "dicolek" oleh ekonom European Central Bank (ECB) Philip Lane. Selasa lalu, ketika kurs euro menyentuh level US$ 1,2000, Lane mengatakan nilai tukar euro-dolar AS "penting" dalam menentukan kebijakan moneter.

Pelaku pasar pun berspekulasi ECB akan melakukan intervensi verbal guna meredam penguatan euro. Ada juga yang memprediksi ECB akan mengumumkan tambahan PEPP.

Tetapi nyatanya Lagarde tidak terlalu cemas dengan kinerja impresif euro, dan hanya mengatakan akan memantau dengan cermat.

"Dewan Gubernur mendiskusikan apresiasi eurio, tapi seperti anda ketahui kami tidak mentargetkan nilai tukar. Tapi kami akan memantau hal tersebut dengan cermat," kata Lagarde.

Bisa ditebak, setelah pernyataan tersebut kurs euro langsung melesat setelah sebelumnya sempat merosot dalam 6 hari beruntun.

Ketika euro kembali menguat, maka indeks dolar AS akan kembali pada tren menurun. Dalam kondisi tersebut emas akan menjadi aset yang diuntungkan.
Harga emas memang menunjukkan penguatan sejak awal tahun ini akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang menyebabkan resesi, serta memaksa bank sentral menggelontorkan stimulus moneter.

Tetapi, harga emas baru mampu mencetak rekor tertinggi sepanjang masa kala indeks dolar AS merosot. Artinya, jika euro terus bergerak naik, indeks dolar AS akan menurun, dan emas kembali melesat.

Indeks dolar AS yang merosot juga bisa berdampak positif bagi mata uang negara emerging market seperti rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kurs Euro Melesat 4 Hari Beruntun, Awas "Digoyang" ECB!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular