
'Obligasi Sampah' Kebanjiran Peminat, Aman Nggak Nih?

Jakarta, CBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) memaksa pemerintah dan bank sentral bekerja keras. Untuk mengatasi wabah virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini, berbagai upaya dilakukan bahkan yang tidak biasa sekalipun.
Pemerintah di berbagai negara menggelontorkan stimulus fiskal dalam jumlah besar untuk mengatasi dampak pandemi baik di sisi kesehatan, sosial, sampai ekonomi. Stimulus fiskal di seluruh dunia untuk penanganan pandemi virus corona sudah melampaui jumlah yang digelontorkan saat krisis keuangan global 2008-2009.
![]() |
Tidak hanya otoritas fiskal, bank sentral pun getol memberi 'rangsangan' bagi perekonomian. Selain suku bunga rendah, otoritas moneter juga 'menyiram' likuiditas ke perekonomian agar sektor keuangan dan sektor rill bisa semarak lagi.
Misalnya di Amerika Serikat (AS). Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menurunkan suku bunga acuan ke titik terendah sejak krisis keuangan global. Plus, bank sentral paling berpengaruh di dunia itu juga 'mengguyur' likuiditas baik dalam bentuk operasi moneter, currency swap dengan negara-negara lain, pembelian obligasi korporasi, hingga menyalurkan kredit ke dunia usaha.
Bank sentral Uni Eropa (ECB) juga melakukan hal serupa. Bank sentral yang dipimpin Christine Lagarde itu getol memborong obligasi. Tengah tahun ini, ECB menambah anggaran untuk pembelian aset sebanyak EUR 600 miliar sehingga total stimulus moneter yang digelontorkan mencapai EUR 1,35 triliun.
Gelontoran duit baik banjir bandang ini menggenangi pasar. Easy and practically free money seperti ini menciptakan mentalitas 'beli, beli, beli'. Mentang-mentang sedang 'banjir uang', apa pun dibeli.
Termasuk aset-aset yang berisiko seperti obligasi dengan peringkat rendah alias obligasi sampah (junk bond). Tingginya minat investor terhadap aset semacam ini membuat imbal hasil (yield) bergerak turun, pertanda harga sedang naik.
![]() |
Menurut survei yang dilakukan Bank of America (BofA), sekitar 67% investor yang menanamkan modal di aset-aset berimbal hasil tinggi (seperti junk bond) merasa bahwa sokongan pemerintah dan bank sentral akan mampu menurunkan risiko gagal bayar atau default. Ini menunjukkan bahwa investor benar-benar berani mengambil risiko, karena yakin pemerintah dan bank sentral akan selalu berada di pasar.
"Investor akan lebih bersikap pragmatis ketimbang rasional. Sikap ini akan terus bertahan sepanjang para pembuat kebijakan masih memberikan dukungan, yang sepertinya bakal terjadi dalam waktu lama," kata Florian Ielpo, Head of Macro Economic Research di Unigestion, sebagaimana diwartakan Reuters.
Namun yang namanya junk bond tetap junk bond. Risiko default akan selalu membayangi.
Lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P) memperkirakan kemungkinan terjadinya default atas junk bond di Eropa sampai Juni 2021 adalah 8,5%. Artinya, akan ada lebih dari 60 perusahaan yang bakal gagal membayar kewajibannya kepada para investor.
"Kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif mungkin menurunkan risiko default dalam jangka menengah. Akan tetapi dengan pendapatan perusahaan yang terus turun, risiko default bisa meningkat," sebut riset S&P.
Oleh karena itu, investor tetap harus berhati-hati. Keserahakan dalam mencari untung bisa berujung buntung. Kalau semakin banyak orang serakah terjebak di lubang yang sama, maka dampaknya akan sangat berbahaya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Waspada! Risiko Gagal Bayar Utang Menghantui Perusahaan RI
