
3 Hal Ini Bakal Redam Melesatnya Kurs Dolar Australia

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia menguat pada perdagangan Selasa (8/9/2020), kembali mendekati level tertinggi sejak November 2018 yang dicapai pada pekan lalu.
Pada pukul 14:23 WIB, AU$ 1 setara Rp 10.764,38, dolar Australia menguat 0,41% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Mata uang Kanguru ini menjadi mata uang dengan kinerja terbaik sepanjang kuartal II-2020, menguat lebih dari 10% melawan rupiah, dan nyaris 6% melawan dolar Amerika Serikat (AS).
Kenaikan harga bijih besi menjadi salah satu pemicu penguatan dolar Australia. Sepanjang tahun ini, komoditas ekspor utama Australia tersebut melesat sekitar 50%, dan berada di level tertinggi dalam 6 tahun terakhir.
Banyak bank investasi ternama memprediksi dolar Australia terus akan menguat, salah satunya United Overseas Bank (UOB).
UOB menyebut pemulihan bursa saham global serta kenaikan harga komoditas akan menjadi fundamental bagi dolar Australia untuk terus menguat di tahun ini. Dolar Australia dikatakan memiliki korelasi positif dengan bursa saham internasional, khususnya Wall Street. Sementara itu pemulihan ekonomi China telah menaikkan harga komoditas ekspor dari Australia.
UOB menaikkan proyeksi dolar Australia melawan dolar AS (AUD/USD) menjadi US$ 0,74 di kuartal III-2020, dari sebelumnya US$ 0,71, kemudian di kuartal IV-2020 sebesar US$ 0,75 dari sebelumnya US$ 0,72.
Saat dolar Australia menguat melawan dolar AS, rupiah juga tentunya akan terpukul.
Sedikit berbeda dengan UOB, perusahaan jasa finansial asal Jepang, Nomura, kini memprediksi dolar Australia tidak akan menguat lagi, dan memberikan outlook netral.
Nomura menyebut ada 3 hal yang akan meredam penguatan dolar Australia, yang pertama eskalasi hubungan AS-China, yang kedua bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) yang akan bersikap lebih dovish, dan yang terakhir kemerosotan perekonomian yang lebih dalam dari perkiraan.
Hubungan AS-China memang terus panas dingin, ketika hubungan kedua negara memburuk akan berdampak secara luas mulai dari sektor riil hingga ke pasar finansial. Sehingga dolar Australia, juga akan terpukul mengingat China merupakan mitra dagang utama Australia.
Sementara itu, sikap RBA terkait nilai tukar dolar Australia juga menjadi salah satu pemicu kinerja yang kinclong.
Pada 22 Juli lalu, nilai tukar dolar Australia melawan dolar AS berada di atas 0,7/US$ dan berada di dekat level tertinggi 6 bulan. Gubernur RBA Philip Lowe saat berbicara di hari itu mengatakan posisi nilai tukar dolar Australia sudah sesuai dengan fundamentalnya.
Pernyataan tersebut mengindikasikan RBA tidak mempermasalahkan penguatan mata uangnya, alhasil dolar Australia yang sebelumnya berada di kisaran US$ 0,71 melesat hingga ke atas US$ 0,74 pekan lalu.
Tetapi Nomura melihat RBA akan bersikap lebih dovish dan akan ada pelonggaran moneter lebih lanjut. Sehingga dolar Australia kemungkinan akan mengalami koreksi.
Penyebab sikap dovish tersebut salah satunya adalah perekonomian yang nyungsep.
Biro Statistik Australia pekan lalu melaporkan produk domestic bruto (PDB) kuartal II-2020 berkontraksi alias negatif 7% quarter-to-quarter (QtQ). Kontraksi tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah pencatatan mulai tahun 1959.
Di kuartal I-2020 lalu, PDB berkontraksi 0,3%, sehingga Australia sah mengalami resesi teknikal untuk pertama kalinya dalam lebih dari 1 dekade terakhir.
Nyungsepnya perekonomian Australia memang sudah diprediksi, semua karena pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19). Tetapi kemerosotan ini lebih dalam dari konsensus di Forex Factory -6%, begitu juga di Trading Economics -5,9%.
Sementara dibandingkan kuartal II-2019, atau secara year-on-year (YoY), PDB Australia mengalami kontraksi 6,3%, tetapi di kuartal sebelumnya masih tumbuh 1,6% YoY.
TIMK RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Tahun Lalu Jeblok 4%, Dolar Australia Turun Lagi di Awal 2022
