Kurs Dolar Singapura & Australia "Balapan" Menuju Rp 11.000

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 September 2020 11:52
Australian dollars are seen in an illustration photo February 8, 2018. REUTERS/Daniel Munoz
Foto: dollar Australia (REUTERS/Daniel Munoz)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Singapura dan Australia kembali menguat melawan rupiah pada perdagangan Kamis (3/8/2020), keduanya bahkan "balapan" menuju Rp 11.000.

Pada Jumat (28/8/2020) pekan lalu, dolar Singapura disalip, sehingga nilai tukarnya lebih murah melawan rupiah ketimbang dolar Australia. Saat itu, AU$ mengakhiri perdagangan di level Rp 10.765,41, dan SG$ di Rp 10.758,19. Kali terakhir kurs dolar Australia lebih mahal dari dolar Singapura yakni pada awal September 2018 lalu, tepat 2 tahun lalu.

Namun, Rabu kemarin, dolar Singapura kembali menyalip dan masih lebih mahal hingga siang ini. Pada pukul 11:07 WIB, dolar Singapura berada di level Rp 10.849,85/SG$ (menguat 0,33%), sementara dolar Australia di Rp 10.821,89/AU$ (menguat 0,08%).

Dengan kondisi dolar Singapura dan Australia lebih bagus dari rupiah, risiko keduanya mencapai level Rp 11.000 menjadi cukup besar.

Rupiah tertekan sejak awal pekan ini akibat rencana Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam revisi ini akan ada banyak beberapa pasal yang dihapus dan juga ditambahkan.

Salah satu yang disoroti dalam revisi tersebut adalah adanya dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan, yang nantinya akan ikut dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), bahkan juga memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan BI. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan independensi BI.

Melansir CNBC International, Kepala Ekonom Asean di Nomura, Euben Paracuelles, mengatakan revisi untuk menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh menteri keuangan adalah "tidak biasa" dan tidak sejalan dengan praktek terbaik tentang bagaimana kebijakan moneter seharusnya ditetapkan.

"Investor mungkin melihat tersebut sebagai masalah besar, yang dapat memicu capital outflow, yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah," katanya dalam program "Squawk Box Asia" di CNBC International Rabu (3/9/2020). 

Selain itu kemungkinan program "burden sharing" pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berlanjut hingga tahun 2022 juga memukul rupiah.

Hal itu diisyaratkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada jurnalis media asing Selasa lalu di istana Bogor. Jokowi mengungkapkan, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2021 mencapai target 4,5%-5,5% maka pemerintah tidak perlu lagi melakukan program "burden sharing" di tahun 2022.

Artinya, jika pertumbuhan ekonomi tak mencapai target, maka program "burden sharing" akan kembali dilakukan.

"Burden sharing" merupakan program dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon. Program tersebut sudah dilakukan mulai awal Juli lalu.

Ada kecemasan di pasar "burden sharing" akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hal ini dapat memukul nilai tukar rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Australia Kini Lebih Mahal dari Singapura, Kok Bisa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular